Scroll untuk baca artikel
BeritaJawa Barat

Kuasa Hukum Faber Buka Suara Soal Penangkapan 4 Orang Yang Diduga Lakukan Illegal Logging di Pangandaran

×

Kuasa Hukum Faber Buka Suara Soal Penangkapan 4 Orang Yang Diduga Lakukan Illegal Logging di Pangandaran

Sebarkan artikel ini

Views: 866

PANGANDARAN, JAPOS.CO – Tim kuasa hukum pemilik lahan yakni ahli waris Faber angkat bicara soal penangkapan empat orang yang diduga melakukan illegal logging atau penebangan ilegal kayu jati di Desa Sidamulih, Kecamatan Sidamulih, Kabupaten Pangandaran oleh Polres Pangandaran, Sabtu 23 Maret 2024.

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

Muhamad Ijudin Rahmat SH, selaku kuasa hukum ahli waris Faber menyayangkan adanya penangkapan kepada 4 orang warga Pangandaran atas tuduhan illegal logging tersebut.  “Pertama, bahwa lahan seluas 83 hektare merupakan hak dari ahli waris Faber berdasarkan penetapan pengadilan No. 07/PN Cianjur tahun 2002.  Sementara luas lahan yang di klaim Perhutani berdasarkan surat ukur atau petak blok seluas 84 hektare. Jadi bagaimana mungkin lokasi penebangan berada di luar tanah hak dari Faber, sementara lokasi penebangan berada di tengah-tengah,” jelas Ijudin.

Seharusnya, tegas Ijudin, pihak penyidik sebelum mengamankan dan menahan dengan tuduhan illegal logging memastikan dahulu batas hak tanah ke BPN bukan sebatas keterangan sepihak dari Perhutani.  “Kalau sudah keluar tata batas dari BPN, baru bisa disimpulkan terkait batas tanah hak Faber dan lagi-lagi bukti yang di perlihatkan Perhutani kan sudah diuji oleh Hakim Pengadilan Ciamis, yang mana hakim tunggal PN Ciamis menolak semua esepsi termohon (LHK dan Perhutani),” tegasnya.

Sementara di tempat lain, Assoc. Prof. Dr. Musa Darwin Pane, S.H.,M.H. yang juga kuasa Hukum Ahli Waris Faber menegaskan, pekerja dan warga penggarap di tanah hak ahli waris Faber meminta agar aparatur penegak hukum baik itu Kepolisian ataupun Gakum KLH sepatutnya menegakkan hukum dengan taat asas, taat etika dan taat hukum.

Sebaiknya, kata Musa Darwin, dalam menindak dugaan tindak pidana harus juga taat pada hukum formil, materil dan juga putusan/penetapan Pengadilan yang harus dihormati. “Juga aparatur penegak hukum sepatutnya menghargai hak milik seseorang atas tanah, termasuk apa yang ada di atas tanah tersebut sebagai bagian dari perlindungan hak asasi yang harus dihormati pula. Kalau ternyata ada kesalahan tangkap atau upaya lain yang keliru segeralah pulihkan nama baiknya dalam keadaan semula, kembalikan mereka kepada keluarganya masing-masing,” katanya.

Senada dengan Assoc. Prof. Dr. Musa Darwin Pane, S.H.,M.H., Ucok Rolando Parulian Tamba,S.H.,M.H. yang juga merupakan kuasa hukum ahli waris Faber berpendapat, secara normatif hutan itu statusnya ada dua.

Yang pertama hutan negara dan yang kedua status hutan hak, bilamana fakta hukumnya itu adalah hutan hak maka dugaan kegiatan dalam hutan hak tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang memiliki sifat melawan hukum (strafbaar feit). “Negara harus hati-hati dalam melakukan penegakan hukum, kewajiban negara itu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan bukan sebaliknya” ungkap Direktur LBHA Trisakti Indonesia ini.

Ijudin pun kembali menjelaskan awal kejadian ini bermula pada tanggal 9 Maret 2024, dimana pembeli kayu melakukan penebangan di tanah milik Faber yang masuk wilayah administrasi Desa Sidamulih, Kecamatan Sidamulih, Kabupaten Pangandaran.

Menghentikan Penebangan Saat penebangan terjadi dan ada laporan, saat itu juga Ijudin menghentikan proses penebangan. Proses penghentian penebangan itu bukan karena di luar lokasi hak Faber, akan tetapi karena tanah Faber yang berlokasi di Sidamulih belum terjalin kesepakatan dengan masyarakat penggarap, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Lebih lanjut setelah Ijudin mengecek ke lokasi penebangan dan bertemu dengan tokoh masyarakat tokoh adat RT/RW perangkat Desa Sidamulih terkait sudah di tebangnya 10 pohon tersebut.

Pada akhirnya hasil rapat tersebut menyimpulkan pihak penebang memberikan kompensasi kepada masyarakat adat untuk biaya penanaman kembali dan itu sudah clear tidak ada masalah yang di komplain oleh semua tokoh masyarakat Desa Sidamulih.

Kata dia, merujuk pada putusan MK No 34/PUU/IX/2011 yang pada pokoknya memutuskan pasal 1 angka 6 UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga pasal tersebut yang dimaksud menjadi hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat adat.  “Jadi tidak ada lagi istilah hutan negara sehingga bentuk penyelesaian penebangan 10 pohon telah selesai dengan musyawarah dengan semua tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat,” tandasnya. (Mamay)

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *