Scroll untuk baca artikel
BeritaHEADLINEJAWAOPINI

Perlunya Inovasi Pembelajaran Sebagai Upaya Solutif Terjadinya Lerning-Loss

×

Perlunya Inovasi Pembelajaran Sebagai Upaya Solutif Terjadinya Lerning-Loss

Sebarkan artikel ini

Views: 109

Oleh: Ambyah Uboyo

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten
  1. Apa itu Learning Loss?

Dalam dunia pendidikan learning loss menjadi isu pembahasan ketika pandemi Covid-19 sudah mulai merebak. Jika kita artikan secara sederhana  learning loss adalah kehilangan pembelajaran yang bermakna. Apakah arti sebenarnya learning loss menurut para ahli?, dan kapan istilah ini mulai secara internasional bergaung khususnya dalam dunia pendidikan?, dan tentu masih banyak pertanyaan yang bisa diajukan, mengingat dampak terjadinya learning loss ini terhadap masa depan pendidikan peserta didik kita.

Istilah learning loss awalnya digunakan untuk mengukur pembelajaran yang hilang ketika penutupan sekolah saat liburan musim panas. Di negara-negara Eropa dan Amerika memberlakukan untuk memberikan tugas membaca saat liburan musim panas bagi peserta didik. Hal yang berbeda ketika penutupan sekolah di masa pandemi Covid-19 yang dilakukan secara darurat.

The Education and Development Forum mengartikan bahwa learning loss adalah situasi di mana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan baik yang bersifat umum atau khusus atau kemunduran secara akademis, yang terjadi karena kesenjangan yang berkepanjangan atau ketidakberlangsungannya proses pendidikan.

Menurut Piere et all, learning loss berarti penurunan kemampuan pengetahuan dan keterampilan pada siswa. Hal ini ia paparkan mengacu pada informasi mengenai data pembelajaran yang dilakukan dari tahun ke tahun melalui pengujian rutin. Kehilangan pembelajaran terjadi ketika kemajuan pendidikan tidak terjadi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Senada dengan Piere, menurut Mahar, learning loss adalah menurunnya kompetensi belajar siswa. Contoh nyata dari kedua pendapat di atas mengenai learning loss ini bisa dilihat pada kemampuan anak membaca dan berhitung yang berkurang secara signifikan.

Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa learning loss adalah penurunan kemampuan anak dalam hal pendidikan baik dalam ranah pengetahuan maupun keterampilan. Berkurangnya kemampuan peserta didik dapat dilihat dari hasil pengukuran di tahun pembelajaran sebelumnya.

Bicara data,  organisasi pendidikan, keilmuan, dan budaya PBB ( UNESCO) memperingatkan adanya potensi penurunan kemampuan membaca dasar siswa akibat pandemi. Diproyeksikan ada penambahan 20% atau 101 juta anak di dunia yang kesulitan membaca. Berdasarkan penelitian Michelle Kaffenberger dampak learning loss secara global pada peserta didik sangat besar terjadi pada siswa sekolah dasar. Dia menjelaskan bahwa siswa kelas III SD yang melewatkan waktu belajar enam bulan  berpotensi kemampuannya tertinggal 1,5 tahun. Kemudian, siswa kelas 1 SD yang tidak belajar dalam waktu enam bulan berpotensi mengalami ketertinggalan belajar 2,2 tahun. Learning loss juga berdampak panjang sehingga mengakibatkan masalah ekonomi dan sosial di masa depan. Misalnya, siswa yang kehilangan kesempatan belajar selama 1,5 tahun akan kehilangan pendapatan sebesar 15 persen saat dewasa. Sementara itu, siswa yang kehilangan kesempatan belajar selama 2 tahun akan kehilangan pendapatan sebesar 20 persen saat dewasa nanti. Kondisi penutupan sekolah yang berimbas terjadinya learning loss terjadi di seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia.

  1. Learning loss dan solusi alternatif

        Kondisi covid-19 yang mewabah ke seluruh penjuru dunia menjadikan pembelajaran yang selama ini dilakukan di bangku-bangku sekolah menjadi terhenti dan harus dilakukan di rumah-rumah. Pembelajaran yang semula dilakukan secara tatap muka beralih menjadi tatap maya, dari offline menjadi online. Perubahan yang secara mendadak ini menimbulkan keguncangan secara ekologis maupun psikologis. Secara ekologis, karena lingkungan kita kurang atau bahkan belum siap dengan infrastruktur digital yang merata di seluruh Indonesia, belum lagi apalagi penyiapan infrastruktur ini dilihat dari perspektif ekonomi keluarga dari peserta didik, yang selama pandemi banyak keluarga di Indonesia mengalami penurunan pendapatan.  Sedangkan dari sisi psikologis, pembelajaran secara daring (online) menuntut adanya lompatan kognitif (baca kesadaran) dari yang selama ini pada tataran pedagogik bergeser pada tataran heutagogik (pedagogy shiffting to heutagogy).

Dari sisi ekonomi, karena Covid-19 membatasi mobilitas manusia. Kegiatan ekonomi yang membutuhkan interaksi di antara manusia menjadi terhenti, sehingga dampaknya sangat terasa. Seperti banyak para karyawan yang di-PHK serta dirumahkan. Dampak tersebut berpengaruh terhadap siklus biaya rumah tangga yang diterima dan dikeluarkan oleh anggota keluarga.  Berdasarkan  penelitian gabungan dari SMERU, PROSPERA, UNICEF dan UNDP menyatakan hampir tiga perempat rumah tangga (74,3%) yang diwawancara pada bulan Oktober-Nopember 2020 mengalami penurunan pendapatan dari yang mereka terima sebelum pandemi yaitu pada bulan Januari 2020. Survei ini meliputi 12.216 sampel rumah tangga representatif tingkat nasional yang tersebar di 34 provinsi yang dilakukan pada kurun waktu antara Oktober sampai dengan Nopember 2020.

Dengan adanya transformasi pembelajaran dari tatap muka (PTM) ke pembelajara daring (PJJ) selama pandemi Covid-19 maka terjadi paradigma pembelajaran yaitu dari manual ke digital, tentu terjadi pergeseran konsep belajar. Dengan mengesampingkan  dari sisi kelengkapan infrstrukturnya,  pembelajaran digital membutuhkan pendekatan heutagogi yaitu pendekatan yang memungkinkan seseorang dapat menentukan sendiri cara belajar, lingkungan belajar, kesempatan belajar universal serta arah sejati diri pelajar. Heutagogi juga mensyaratkan bahwa inisiatif pendidikan termasuk peningkatan keterampilan. Sebenarnya yang belajar itu adalah masyarakat sendiri (dalam hal ini peserta didik), mereka belajar cara belajar dan juga belajar mata pelajaran yang diberikan. Pada andragogy fokus pendidikan bersifat terstruktur, sedangkan dalam heutagogi semua konteks pembelajaran dianggap mengkombinasikan dimensi formal dan informal.

Karena pembelajaran daring merupakan “digital based learning” maka penguasaan teknologi informasi menjadi sangat penting. Berdasarkan penyampaian Muhammad Ramli selaku Ketua Umum Pengurus Pusat Jaringan Sekolah Digital, dikatakan bahwa lebih dari 60 persen guru yang tidak paham teknologi komunikasi, yangkemudian berakibat  pada buruknya kualitas pembelajaran jarak jauh (PJJ), disebutkan bahwa hanya 5,7 persen guru yang memiliki kemampuan dan kreativitas yang baik untuk menyajikan pembelajaran jarak jauh yang menyenangkan dan berkualitas, sementara 33 persen di antaranya bisa menggunakan teknologi dalam PJJ dengan kualitas seadanya.

Akhirnya bisa disimpulkan bahwa pembelajaran tatap muka yang merupakan budaya klasikal sekolah perlu dire-evaluasi, dengan semakin majunya teknologi informasi maka kiranya pemanfaatan teknologi informasi dalam pembelajaran perlu segera diberdayakan, paling tidak sebagai pendamping pembelajaran klasikal, pandemi covid-19 memberi pelajaran bahwa dunia kita rentan diserang pandemi. ***

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *