BeritaHEADLINESumatera Barat

Agung Laksono: Setuju Pemikiran Bubarkan MK Jika Anut Rezim Tirani Minoritas

×

Agung Laksono: Setuju Pemikiran Bubarkan MK Jika Anut Rezim Tirani Minoritas

Sebarkan artikel ini
Musda Kosgoro 1957 Sumatera Barat di Kota Padang, Rabu 2/7/2025 malam dimeriahkan tarian di atas pecahan kaca dengan kaki telanjang. (Foto: HMSTIMES/A. Ristanto).

Views: 2

PADANG,JAPOS.CO – Ketua Majelis Pertimbangan Pimpinan Pusat Kolektif (PPK) Kosgoro 1957, HR Agung Laksono meminta jajaran fungsionaris organisasi kemasyarakatan (ormas) pendiri Partai Golkar ini menyikapi dengan lebih serius putusan terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah yang tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Memberikan arahan dalam Musyawarah Daerah (Musda) Kosgoro 1957 di Kota Padang Sumatera Barat, ia mengingatkan jangan karena setiap putusan MK bersifat final and binding, yang artinya harus dilaksanakan, seharusnya para hakim MK tidak sembarangan menyepakati keputusan. Sebab dengan keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 135/PUU-XXIII/2025 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal, banyak hal yang akan bisa memengaruhi sistem kehidupan bermasyarakat dan berbangsa kita saat harus diimplementasikan.

Dengan pemisahan pelaksanaan pemilu yang sebelumnya serentak, saat nanti harus dilaksanakan harus ada perubahan Undang-Undang Pemilu. Jeda waktu yang ditetapkan MK antara Pemilu Nasional (Pemilihan DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden) dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan, dengan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) serta DPRD Provinisi, Kabupaten/Kota, maka akan terjadi kekosongan fungsi DPRD. “Kalau gubernur, bupati dan walikota ada mekanisme pelaksanaan tugas, maka untuk DPRD tidak bisa, karena mandat yang rakyat berikan hanya lima tahun,” Ketua DPR RI 2004-2009 ini mengingatkan.

Lebih jauh Agung yang pernah menjabat Menpora, Menko Kesra dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden menyatakan, jangan sampai MK menjadi lembaga negara penganut rezim tirani minoritas. “Jika demikian pemikiran mereka, saya setuju dengan pemikiran, bubarkan saja Mahkamah Konstitusi,” ujarnya saat berbincang dengan pers di luar arena Musda Kosgoro 1957 Sumbar ke-10, yang berlangsung di Pangeran City Hotel – Padang.

Ia juga meminta para Anggota DPR bisa mengevaluasi kewenangan dan peran MK agar terkesan sebagai lembaga super body.

Digambarkan, bagaimana sembilan hakim MK, bisa anulir keputusan lebih dari 500 anggota DPR RI.

Tanpa Pilihan

Terpisah Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra juga  menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi nomor 135/PUU-XXIII/2025 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal.

Dia menyebut, Mahkamah Konstitusi seperti tidak memberikan pilihan kepada pemerintah untuk memperbaiki sistem pemilu yang ada, jika semua diatur oleh putusan.

“Pemerintah kan tidak punya pilihan kalau segala sesuatu telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi karena MK itu kan putusnya final and binding ya,” kata Yusril saat ditemui di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2025) dilansir Kompas.com.

Padahal, kata Yusril, pemerintah juga memiliki pemikiran sendiri untuk menyelenggarakan pemilu yang adil dan proporsional bagi semua pihak, karena pemerintah memiliki pengalaman di lapangan untuk pelaksanaan pemilu.

Dengan putusan ini, kata Yusril, pemerintah seperti memiliki beban kerja baru di luar putusan MK sebelumnya yang menghapus rezim ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. “Itu pun pemerintah belum selesai merumuskan undang-undangnya, sekarang sudah muncul lagi putusan yang baru,” ucapnya.

Yusril mengatakan, saat ini mau atau tidak, pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR, harus patuh pada putusan MK. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga putusan ini harus menjadi bagian ketika DPR dan pemerintah merumuskan revisi UU Pemilu.

“Pemerintah dan DPR harus merumuskan kembali undang-undang pemilu,” kata dia.

Adapun putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah itu menyatakan, bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dilakukan secara terpisah mulai tahun 2029. Putusan yang dibacakan MK pada Kamis (26/6/2025) tersebut menyatakan, keserentakan penyelenggaraan pemilu yang konstitusional adalah dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, dengan pemilu lokal yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.

Yusril juga menjelaskan putusan MK terkait pemisahan pemilu pusat dan daerah bisa menjadi persoalan baru jika diterapkan. Pasalnya, masa jabatan presiden bersifat konstitusional dan tidak bisa diperpanjang oleh lembaga mana pun.

“Itu pun pemerintah belum selesai merumuskan undang-undangnya, sekarang sudah muncul lagi putusan yang baru,” ucapnya. (RIS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *