Views: 151
SAMOSIR, JAPOS.CO – Penetapan Toba Caldera sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark (UGGp) pada tahun 2020 merupakan tonggak penting yang mengukuhkan Danau Toba tidak hanya sebagai destinasi pariwisata unggulan nasional, tetapi juga sebagai warisan geologis kelas dunia. Namun, kehormatan ini kini berada di ujung tanduk. Sejak tahun 2023, Toba Caldera UGGp (TCUGGp) menerima “kartu kuning” dari UNESCO sebagai sinyal kuat bahwa keberlangsungan status geopark global tersebut sedang dipertaruhkan.
Empat rekomendasi utama yang diberikan UNESCO—yakni penguatan tata kelola, peningkatan partisipasi masyarakat, penguatan upaya konservasi, serta peningkatan kualitas edukasi dan visibilitas geopark—belum dijawab secara menyeluruh oleh para pemangku kebijakan di daerah. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi, maka Indonesia berisiko kehilangan satu-satunya Geopark Global UNESCO yang mewakili kawasan Danau Toba, sebuah ikon geowisata sekaligus simbol kebanggaan nasional.
Dalam konteks ini, peran Gubernur Sumatera Utara tidak hanya penting—namun esensial. Sebagai pemegang mandat politik dan administratif tertinggi di tingkat provinsi, Gubernur memiliki otoritas strategis dalam merumuskan arah kebijakan lintas sektor dan lintas wilayah. Pemerintah provinsi bahkan telah mengambil beberapa langkah formil, antara lain:
- Peraturan Gubernur (Pergub) No. 5 Tahun 2024 tentang pembentukan Badan Pengelola TCUGGp, sebagai bentuk respon atas tuntutan struktur kelembagaan yang lebih solid.
- Surat Keputusan Gubernur No. 188.44/121/Kpts/2025 tentang pengangkatan personel Badan Pengelola untuk periode 2025–2030, yang menunjukkan niat jangka panjang dalam pengelolaan geopark.
Namun demikian, hingga pertengahan 2025 ini, pengaruh langsung dari figur Gubernur dalam proses penyelamatan geopark masih terbilang minim. Belum tampak kepemimpinan aktif yang mampu mengonsolidasikan tujuh kepala daerah se-Kawasan Danau Toba, serta merangkul berbagai pihak terkait di tingkat pusat dan lokal. Padahal, geopark adalah proyek lintas batas yang menuntut sinergi penuh dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, lembaga pendidikan, pelaku usaha, hingga komunitas lokal.
Saat ini, ada sejumlah tantangan utama yang menghambat percepatan pemenuhan standar UNESCO:
1.Koordinasi Lintas Sektor yang Belum Terjalin Optimal
Sejak keluarnya peringatan resmi dari UNESCO, belum ada pertemuan koordinatif yang dipimpin langsung oleh Gubernur dengan Badan Pengelola maupun kepala daerah terkait. Situasi ini menimbulkan fragmentasi kebijakan dan program, sehingga tidak ada satu visi tunggal dalam menjawab tantangan global.
2.Kegiatan Dinas Tidak Sinkron dengan Tujuan Geopark
Banyak program yang digagas oleh dinas-dinas di provinsi dan kabupaten menggunakan label “geopark” secara administratif, tetapi substansinya tidak menjawab aspek strategis seperti konservasi dan edukasi. Kegiatan cenderung bersifat proyek-oriented, bukan solution-oriented.
3.Minimnya Anggaran yang Tepat Sasaran
Tanpa dukungan politik dan pengawasan dari level pimpinan, alokasi anggaran cenderung tersebar dan tidak mendukung prioritas UNESCO, seperti pelatihan guide lokal, pembangunan geosite yang terstandar, atau program pendidikan berkelanjutan.
Jalan Strategis Menuju “Green Card”: Apa yang Harus Dilakukan Gubernur?
Untuk menyelamatkan status TCUGGp dari pencabutan keanggotaan UNESCO, Gubernur Sumatera Utara harus segera mengambil langkah-langkah strategis dan konkret. Beberapa agenda prioritas yang sangat mendesak antara lain:
- Memimpin langsung rapat koordinasi terpadu lintas kabupaten/kota dan lintas sektor untuk membahas dan merespon empat rekomendasi UNESCO secara terpadu.
- Melakukan realokasi dan refokus anggaran pembangunan provinsi agar mendukung aktivitas geopark secara substansial, bukan hanya simbolis.
- Memastikan Badan Pengelola TCUGGp menjadi lembaga tunggal yang memiliki otoritas eksekusi program, serta mendapat dukungan penuh dari seluruh perangkat daerah.
- Menjalin komunikasi aktif dan periodik dengan UNESCO, termasuk menyampaikan progres, tantangan, dan komitmen daerah dalam menjaga nilai-nilai geopark.
- Menghidupkan peran serta masyarakat lokal melalui pelatihan, pembentukan komunitas sadar geopark, serta penguatan ekowisata berbasis budaya dan geologi.
Dengan tenggat waktu kunjungan tim asesor UNESCO yang dijadwalkan pada pertengahan 2025, waktu semakin sempit. Hanya kepemimpinan yang tegas dan visioner dari Gubernur yang mampu membalikkan keadaan. Ini bukan sekadar soal status geopark, melainkan soal reputasi Indonesia di panggung dunia, keberlanjutan lingkungan Danau Toba, dan masa depan ekonomi masyarakat di kawasan tersebut.
Jika Gubernur mampu turun tangan secara langsung, memimpin dengan integritas dan keberanian politik, maka “green card” UNESCO bukanlah mimpi, tetapi hasil kerja nyata. Sebaliknya, jika tidak ada perubahan signifikan, maka Toba Caldera bisa menjadi contoh kegagalan manajemen geopark di mata internasional.
Di tengah harapan yang menipis dan waktu yang mendesak, pertanyaan publik yang kini menggema adalah: Akankah Gubernur Sumatera Utara benar-benar hadir dan memimpin penyelamatan Geopark Danau Toba? Apakah ia akan membiarkan kartu kuning berubah menjadi kartu merah di tahun 2025? Ataukah ia akan tampil sebagai pemimpin yang menyelamatkan warisan dunia untuk generasi mendatang?
Semua mata kini tertuju ke Medan, ke kantor Gubernur, ke pemegang mandat rakyat Sumatera Utara. Waktu untuk menunda telah habis. Saatnya bertindak—atau bersiap kehilangan segalanya.
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia )