Views: 406
JAKARTA, JAPOS.CO — Peringatan keras dari UNESCO terhadap status Geopark Kaldera Toba sebagai warisan dunia mendapat sorotan tajam dari Pimpinan Komisi II DPR RI, Arya Bima. Dalam pernyataan resminya, Arya Bima menilai status “kartu kuning” yang diberikan oleh badan dunia tersebut sebagai sinyal darurat yang menunjukkan buruknya tata kelola pemerintahan daerah di kawasan Sumatera Utara, khususnya oleh Gubernur dan para kepala daerah di sekitar Danau Toba.
Menurut Arya Bima, peringatan tersebut bukan sekadar teguran administratif biasa, melainkan tamparan keras terhadap integritas tata kelola daerah dan cermin dari kegagalan kolaborasi lintas sektor. Geopark Kaldera Toba, tegasnya, bukan hanya destinasi wisata semata, melainkan simbol kebanggaan nasional dan indikator kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan serta berstandar internasional.
“Status kartu kuning ini menunjukkan bahwa pengelolaan Geopark Kaldera Toba belum memenuhi standar global yang ditetapkan UNESCO. Ini menjadi alarm bagi semua pihak, khususnya pemerintah daerah, untuk segera melakukan perbaikan menyeluruh,” ujar Arya Bima.
Kritik Tajam Terhadap Pemerintah Daerah
Dalam pernyataannya, Arya Bima tidak segan mengkritik langsung Gubernur Sumatera Utara, para bupati yang berada di kawasan Danau Toba. Ia menilai bahwa lemahnya koordinasi, rendahnya riset ilmiah, tidak terintegrasinya kebijakan tata ruang dan konservasi, serta minimnya partisipasi masyarakat lokal menjadi faktor utama merosotnya performa pengelolaan Geopark.
“Tata kelola yang amburadul, riset yang minim, serta tidak adanya edukasi publik yang masif membuat Geopark Kaldera Toba seperti kehilangan arah. Pemerintah daerah tidak bisa terus bergantung pada pemerintah pusat. Mereka harus bertindak cepat dan konkret,” tegasnya.
Arya Bima mendesak agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba. Ia juga mendorong agar APBD diarahkan secara tegas untuk mendukung pembenahan kawasan tersebut, mulai dari infrastruktur konservasi, kolaborasi dengan perguruan tinggi dan lembaga riset, hingga peningkatan literasi dan edukasi masyarakat.
UNESCO sendiri memberikan waktu bagi Indonesia untuk melakukan pembenahan dalam jangka waktu tertentu. Jika gagal, bukan hanya status geopark dunia yang akan dicabut, tetapi juga akan terjadi dampak sosial-ekonomi yang luas. Arya Bima mengingatkan, kehilangan status tersebut akan sangat merugikan masyarakat lokal, termasuk ribuan pelaku UMKM, sektor pariwisata, dan ekonomi kreatif di kawasan Danau Toba.
“Ini bukan sekadar soal nama, tapi tentang keberlangsungan hidup masyarakat di sekitar danau. Jika status geopark dunia hilang, kita akan kehilangan peluang besar — baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun diplomatik. Citra bangsa akan tercoreng,” paparnya.
Komitmen DPR RI untuk Mengawal Perbaikan
Sebagai bentuk tanggung jawab institusional, Komisi II DPR RI menyatakan komitmennya untuk terus mengawal proses evaluasi dan perbaikan tersebut. Arya Bima bahkan membuka kemungkinan untuk memanggil pihak-pihak terkait dalam rapat kerja terbuka guna mempertanggungjawabkan kinerja pengelolaan Geopark Kaldera Toba.
“Kami tidak akan tinggal diam. Komisi II DPR RI akan mengawasi, mendampingi, dan memastikan bahwa proses perbaikan berjalan serius. Ini bukan hanya soal kawasan Danau Toba, ini soal marwah bangsa,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Arya Bima mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama menjaga dan merawat Geopark Kaldera Toba, bukan hanya sebagai kawasan wisata, tetapi sebagai simbol nasionalisme ekologis dan praktik terbaik otonomi daerah yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.
“Mari kita jaga Danau Toba, warisan dunia ini. Bukan hanya demi hari ini, tapi demi generasi yang akan datang. Kita semua punya tanggung jawab menjaga marwah bangsa,” pungkas Arya Bima. (Red)