BeritaHEADLINESumatera Utara

Kemegahan Patung Jesus Sibeabea Kontras dengan Derita Karyawannya: Gaji Tak Layak, Tanpa Libur dan Jaminan Sosial

×

Kemegahan Patung Jesus Sibeabea Kontras dengan Derita Karyawannya: Gaji Tak Layak, Tanpa Libur dan Jaminan Sosial

Sebarkan artikel ini
Objek wisata Sibeabea dengan latar belakang gambar Tuhan Yesus.

Views: 330

SAMOSIR, JAPOS.CO – Dibalik kemegahan Patung Yesus di Bukit Sibeabea, ikon wisata religius dan spiritual yang telah mendunia, tersimpan ironi yang menyakitkan. Di tempat yang seharusnya menjadi lambang kasih, keadilan, dan kemanusiaan itu, nasib para pekerja justru seperti diabaikan. Mereka yang menjadi tulang punggung pengelolaan kawasan wisata ini justru hidup dalam tekanan dan ketidakpastian ekonomi.

Objek wisata Bukit Sibeabea yang dikelola oleh Yayasan Jadilah Terang Danau Toba mempekerjakan sekitar 38 orang. Namun berdasarkan penelusuran wartawan, banyak dari mereka menerima upah di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Samosir tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp 2.992.559. Ironisnya, sebagian pekerja hanya digaji Rp 2.800.000, tanpa menerima tunjangan lembur, jaminan sosial, bahkan hari libur, termasuk pada hari Minggu yang seharusnya digunakan untuk ibadah.

Fransiskus Pasaribu, salah satu mantan pekerja yang baru saja diberhentikan tanpa penjelasan yang jelas, mengungkapkan realitas pahit tersebut. “Kami masuk kerja dari jam 08.00 pagi hingga pukul 18.00 sore. Tak ada lembur, tak ada hari libur, bahkan hari Minggu pun tetap bekerja. Padahal di hari itu kami ingin beribadah, sesuai nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh tempat wisata yang berdiri atas nama Tuhan,” katanya.

Yang lebih memprihatinkan, para pekerja ini tidak terdaftar dalam program jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, padahal hal ini adalah kewajiban hukum bagi setiap pemberi kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Selain itu, praktik pengupahan di bawah UMK yang dilakukan pengelola yayasan juga jelas-jelas melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Klaster Ketenagakerjaan). Undang-undang ini menegaskan bahwa upah minimum adalah batas paling rendah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerjanya.

Lebih miris lagi, empat orang karyawan baru-baru ini diberhentikan tanpa kejelasan. Mereka adalah Yoka Manik (sopir), Fransiskus Pasaribu, Masinta Pasaribu, dan Minimbun Limbong. Bahkan, gaji terakhir Yoka Manik tidak dibayarkan secara penuh, sebuah pelanggaran serius terhadap hak normatif pekerja.

Peran Pemerintah Dipertanyakan

Walaupun Bukit Sibeabea dikelola oleh pihak swasta, dalam hal ini Yayasan Jadilah Terang Danau Toba, namun objek wisata ini menjadi penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) setelah dibuka umum pada September 2024. Pemerintah Kabupaten Samosir, melalui Dinas Pariwisata, memiliki fungsi pembinaan, dan melalui Badan Pendapatan Daerah, memungut pajak dari aktivitas wisata tersebut.

Dengan kondisi ini, masyarakat berharap agar Pemerintah Kabupaten Samosir tidak bersikap pasif, melainkan segera memanggil pihak yayasan untuk memberikan klarifikasi dan perbaikan sistem ketenagakerjaan di sana. Pemerintah harus hadir bukan hanya sebagai penerima pajak, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak dasar masyarakatnya.

Aktivis buruh lokal, akademisi, hingga tokoh masyarakat mulai angkat suara. “Ini bukan sekadar masalah gaji. Ini soal martabat pekerja, soal keadilan. Bagaimana mungkin tempat yang menjual nama Yesus tapi memperlakukan karyawan seolah tak punya nilai kemanusiaan?” ujar seorang tokoh gereja lokal yang enggan disebutkan namanya.

Mereka menuntut transparansi dari Yayasan Jadilah Terang Danau Toba atas sistem kerja, struktur pengupahan, dan kejelasan hubungan kerja. Selain itu, aparat pengawas ketenagakerjaan di bawah Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara juga didesak segera melakukan pemeriksaan mendalam terhadap praktik ketenagakerjaan di Bukit Sibeabea.

Bukit Sibeabea telah menjadi ikon baru di Kawasan Danau Toba. Tapi pesonanya akan memudar jika dibalik keindahan itu terdapat luka dan ketidakadilan bagi mereka yang mengabdi. Pemerintah daerah, lembaga pengawas, bahkan masyarakat luas memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa keadilan dan hak pekerja dijunjung tinggi—apalagi di tempat yang membawa nama suci Yesus Kristus.

Kini, saatnya pengelola dan pemerintah menjawab: Apakah nilai-nilai spiritual yang dibanggakan di Bukit Sibeabea hanya menjadi hiasan luar, atau benar-benar dihidupi melalui keadilan sosial bagi para pekerja?

Redaksi berupaya untuk konfirmasi kepada Yayasasan namun sampai berita ini diturunkan belum berhasil. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *