Views: 225
JAKARTA, JAPOS.CO – Polemik panas seputar dugaan transaksi gelap antara Telkomsel dan PT Karya Daya Nugraha (KDN)—yang notabene merupakan perusahaan afiliasi—kian membara dan kini memasuki babak baru yang lebih mengkhawatirkan. Terungkapnya dugaan keterlibatan Direktur Utama PT Telkomsel, Nugroho, dalam transaksi mencurigakan mengindikasikan bahwa skandal ini bukan sekadar praktik korporasi menyimpang, melainkan bagian dari skema sistematis perampokan kekayaan negara melalui badan usaha milik negara (BUMN).
Praktik Gelap Korporasi: Dari Transaksi Kilat hingga Laba Lari ke Luar Negeri
Dalam laporan yang diterima JAPOS.CO, transaksi kilat antara Telkomsel dan KDN hanya diputuskan dalam waktu sehari, tanpa kajian menyeluruh atau uji kelayakan bisnis yang memadai. Padahal, proyek yang dikelola menyangkut bisnis korporat SMS (A2P SMS) dengan nilai miliaran rupiah per bulan. Perusahaan yang mendapat proyek, KDN, juga tercatat tidak memiliki rekam jejak kuat atau pengalaman relevan dalam sektor tersebut.
Langkah terburu-buru ini memunculkan tanda tanya besar di tengah publik. Mengapa aset strategis negara yang dikelola BUMN sebesar Telkomsel bisa dialihkan ke entitas baru dalam waktu sesingkat itu? Apa urgensinya? Dan siapa yang paling diuntungkan?
Menurut laporan Indonesian Audit Watch (IAW), indikasi bahwa ini hanyalah satu dari sekian banyak transaksi “gelap” semakin kuat. “Ini bukan kerja korporasi profesional. Ini kerja elit predator yang memanfaatkan BUMN untuk merampok kekayaan negara secara legalistik,” tegas Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri IAW.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak tahun 2015 hingga 2023 mengungkap daftar panjang penyimpangan di sektor telekomunikasi, mulai dari penjualan frekuensi dengan harga murah, praktik transfer keuntungan ke luar negeri melalui SingTel (pemegang saham 35% Telkomsel), hingga proyek fiktif yang menguras triliunan rupiah dari anggaran negara.
Dalam kasus BLU BAKTI Kominfo, dana triliunan rupiah dikucurkan untuk pengembangan infrastruktur digital, namun realisasi di lapangan nihil. Proyek-proyek tersebut diduga hanya menjadi kamuflase untuk pencucian uang dan penggelapan anggaran.
Salah satu temuan paling mencengangkan adalah rendahnya tarif Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi di Indonesia yang hanya 0,576%, jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Jika tarif dinaikkan sesuai rekomendasi BPK menjadi 2%, negara berpotensi meraup tambahan pendapatan sebesar Rp 20 triliun per tahun. Namun, selama delapan tahun terakhir, rekomendasi tersebut diabaikan.
“Ini ironi besar. Frekuensi adalah aset strategis milik rakyat, tapi diperlakukan seperti properti pribadi segelintir elit,” ujar Iskandar.
Selain persoalan transfer keuntungan, Telkomsel juga dilaporkan membayar royalti kepada SingTel sebesar Rp 1,2 triliun per tahun—dengan harga 30% di atas nilai pasar. Akibatnya, negara diduga kehilangan potensi pajak hingga Rp 450 miliar per tahun.
Tak hanya itu, Direktur Utama Telkomsel, Nugroho, kini terseret dalam laporan Koalisi Mahasiswa Anti Korupsi (KMAK) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia diduga tidak melaporkan aliran dana hingga ratusan miliar rupiah dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Laporan tersebut kini tengah dalam proses verifikasi oleh KPK.
KMAK juga mengungkap adanya transfer mencurigakan ke dua individu berinisial ADR dan FE, serta dugaan pengalihan aset dan kekayaan yang tidak wajar. Kombinasi antara transaksi kilat, royalti mahal, serta penggelapan laporan kekayaan menjadikan kasus ini semakin kompleks dan patut diaudit secara forensik.
Klaim pengembangan jaringan 5G di Indonesia oleh Telkomsel pun dipertanyakan. Menurut Iskandar, tower 5G di berbagai daerah hanya sebatas laporan di atas kertas. “Yang kita lihat adalah penggelapan anggaran berbalut inovasi digital. Proyek fiktif ini bukan hanya merugikan negara, tapi juga membodohi rakyat,” katanya.
IAW secara tegas mendesak dilakukan audit forensik terhadap seluruh proyek BLU BAKTI dan pengelolaan Telkomsel dalam satu dekade terakhir. Mereka juga mendorong agar pemerintah meninjau ulang kepemilikan saham SingTel di Telkomsel dan mempertimbangkan langkah nasionalisasi atas saham strategis tersebut.“Ini bukan jual beli saham biasa. Ini menyangkut kedaulatan ekonomi nasional. Jangan sampai BUMN berubah fungsi menjadi ATM kekuasaan,” tegas Iskandar.
IAW mendesak agar Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK segera membuka penyelidikan atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK dari 2013 hingga 2023. Jika penyimpangan terbukti, mereka mendesak agar lisensi operator dicabut, pelaku diproses hukum, dan saham strategis dikembalikan ke negara.
“Kalau DPR dan aparat hukum terus bungkam, publik punya hak untuk bertanya: negara ini dikelola untuk siapa? Untuk rakyat, atau segelintir elit yang terus menghisap BUMN sampai kering?” pungkas Iskandar.
Upaya konfirmasi kepada pihak Telkomsel terus dilakukan, namun hingga berita ini diturunkan, redaksi belum berhasil mendapatkan tanggapan resmi. (RED)