Views: 189
BELITUNG, JAPOS.CO – Kantor Pertanahan Kabupaten Belitung melalui Kepala Seksi Pengukuran Tanah, Harbi Maharani, ST.MSP, menegaskan komitmennya untuk memberikan pelayanan terbaik sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan ketentuan hukum yang berlaku, khususnya dalam menangani kasus-kasus sengketa tanah.
Pernyataan ini disampaikan Harbi saat menerima laporan dari ahli waris keluarga besar almarhum Sa’il, yakni Darwin, pensiunan guru, dan Jamil, pensiunan pegawai Dinas Dukcapil, pada Rabu (21/5). Keduanya didampingi oleh wartawan JAPOS.CO dan Indeks Babel dalam pengaduannya di Kantor Pertanahan Belitung, Jalan Sriwijaya, Tanjungpandan.
Dugaan Penyerobotan Tanah Warisan di Pulau Sekutai
Laporan tersebut berkaitan dengan dugaan penguasaan sepihak atas lahan seluas 344 hektare di Pulau Sekutai, Desa Petaling, Kecamatan Selat Nasik. Lahan yang dikelilingi kawasan Hutan Lindung Pantai (HLP) dan areal tanaman pohon kuini serta kelapa itu disebut-sebut telah dijadikan 27 Surat Keterangan Tanah (SKT) oleh Kepala Desa Petaling, Asnawi. Tanah tersebut bahkan diduga telah dijual kepada seorang pengusaha asal Medan bernama Moris, dengan nilai mencapai miliaran rupiah.
Padahal, berdasarkan dokumen yang dimiliki keluarga, tanah tersebut dibeli oleh kakek mereka, almarhum Sa’il, pada tahun 1947 seharga Rp 1.900 dari Jakoeb, Juru Tulis Kantor Kapitein Tionghoa, yang memiliki akta jual beli bertanggal 17 Oktober 1934. Dokumen tersebut diketahui dan disahkan oleh Lurah Pangkalalang, Abusama, pada tahun 1953.
Darwin dan Jamil mengungkapkan bahwa enam warga Suku Bugis telah membuat surat pernyataan bermaterai yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengajukan pembuatan SKT, namun nama mereka tercantum dalam dokumen tersebut. SKT yang dimaksud di antaranya adalah milik SN, SH, MR, ST, MM, dan AS. Masing-masing warga ini mengaku hanya menerima kompensasi sebesar Rp 150.000 untuk tanaman yang ada, bukan untuk lahan tanah. Mereka meminta agar SKT yang diterbitkan atas nama mereka segera dicabut.
Harbi Maharani menjelaskan bahwa pihaknya telah menerima dan menindaklanjuti laporan tersebut. “Kami telah menyampaikan laporan kepada Kepala Kantor dan meminta pelapor melengkapi dokumen serta kronologi kepemilikan untuk dimasukkan dalam sistem pengaduan resmi ATR/BPN,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Desa Petaling, Asnawi, saat dikonfirmasi via telepon mengakui telah mengeluarkan SKT atas dasar pengakuan sekelompok warga Suku Bugis yang pernah tinggal di Pulau Sekutai. Ia menyebutkan adanya berita acara hak kepemilikan sebagai dasar pembuatan SKT tersebut.
Di pihak lain, Moris, pengusaha asal Medan, mengklaim bahwa dirinya membeli tanah itu berdasarkan dokumen SKT yang sah dari Desa Petaling. Proses jual beli dilakukan dengan dokumen yang dibubuhi cap jari jempol. Namun, hingga saat ini sertifikat resmi masih dalam proses pengajuan ke Kantor Pertanahan Belitung sejak dua tahun lalu.
Pulau Sekutai sendiri merupakan pulau kecil tak berpenghuni di wilayah Kecamatan Selat Nasik, dikelilingi oleh hutan mangrove dan terumbu karang dangkal (reef flat) yang menjadi habitat biota laut.
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, hanya 47 hektare dari lokasi tersebut yang termasuk dalam Areal Penggunaan Lain (APL), sementara sisanya masuk dalam kawasan lindung.
Mantan anggota DPRD Belitung, Johan Hanibal Palit, menegaskan bahwa kasus ini harus segera digelar dalam forum resmi di Kantor ATR/BPN Belitung. Ia juga mendesak Bupati Belitung, Jhoni Alamsyah, untuk menurunkan tim investigasi dari Bagian Tapem, Bagian Hukum, Dinas PMD, Camat Selat Nasik, serta instansi terkait lainnya.
“Jika terbukti ada pelanggaran hukum, Bupati harus bertindak tegas dan adil demi menjaga kepercayaan masyarakat serta menegakkan aturan yang berlaku,” tegas Johan.(Yustami)