BeritaDKI

Aksi Nasional PP KAMMI: Reformasi di Persimpangan Jalan

×

Aksi Nasional PP KAMMI: Reformasi di Persimpangan Jalan

Sebarkan artikel ini

Views: 97

JAKARTA, JAPOS.CO –  Dua puluh tujuh tahun pasca runtuhnya rezim Orde Baru, bangsa Indonesia justru menghadapi kemunduran dalam demokrasi, penegakan hukum, dan kesejahteraan rakyat. Dalam aksi nasional bertajuk “Reformasi di Persimpangan Jalan: #IndonesiaDarurat,” Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) turun ke jalan menyuarakan kegelisahan rakyat atas kondisi negara yang darurat secara multidimensi.

Gerakan reformasi 1998 lahir dari perlawanan terhadap kekuasaan yang otoriter, korup, dan anti-rakyat. Namun hari ini, wajah-wajah yang dulu digulingkan justru kembali mengambil tempat, bahkan dengan legitimasi hukum dan kelembagaan. PP KAMMI melihat ini sebagai bentuk pengkhianatan sejarah yang tak boleh dibiarkan berlanjut.

“Reformasi tidak boleh direduksi menjadi seremoni tahunan. Ini adalah amanat perubahan yang mesti terus dijaga nyalanya. Ketika negara mulai lupa, maka mahasiswa wajib mengingatkan—dan jika perlu, mengguncang,” tegas Ahmad Jundi KH, Ketua Umum PP KAMMI. Ia menegaskan bahwa mahasiswa adalah benteng terakhir ketika kekuasaan melampaui batas.

Salah satu indikasi paling mencolok dari kemunduran demokrasi adalah bangkitnya kembali militerisme melalui revisi UU TNI. UU tersebut membuka ruang bagi militer untuk kembali masuk dalam ranah sipil secara sistematis. Padahal, penghapusan Dwifungsi ABRI adalah salah satu tonggak utama reformasi 1998.

“Kembalinya peran ganda militer bukan hanya langkah mundur, tapi lonceng kematian bagi supremasi sipil. Demokrasi tak akan pernah tumbuh jika dibayang-bayangi militer,” kata Jundi. Menurutnya, militer yang kembali bercokol dalam urusan pemerintahan sipil adalah tanda bahaya serius bagi masa depan demokrasi.

Terbaru telegram Panglima TNI tentang perintah kepada jajarannya untuk mengamankan kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri di seluruh Indonesia. Langkah ini menciptakan preseden buruk dalam relasi sipil-militer, karena fungsi pengamanan institusi penegak hukum sipil bukanlah ranah militer. Pengerahan ini bukan hanya mengaburkan batas antara pertahanan dan penegakan hukum, tetapi juga memperlihatkan upaya simbolik militer masuk lebih jauh dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi otoritas kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya.

Aksi ini juga menyoroti meningkatnya kekerasan aparat terhadap rakyat yang menyuarakan kritik. Sejak 2019 hingga 2025, pola represif aparat terus berulang: dari gas air mata di kampus, pemukulan brutal, hingga penangkapan ratusan mahasiswa. Demonstrasi bukan lagi disambut dengan dialog, tetapi dengan pentungan.

“Kami tak takut pada pentungan atau borgol. Yang kami takuti adalah diamnya generasi muda saat demokrasi dijual murah oleh penguasa,” tegas Jundi. Ia mengajak seluruh mahasiswa Indonesia untuk tidak apatis terhadap situasi negara yang semakin dikendalikan oleh segelintir elite.

Dalam waktu yang bersamaan, kebebasan berekspresi dan kebebasan pers kian terkikis. Serangan terhadap jurnalis, aktivis, dan akademisi mencerminkan upaya sistematis membungkam suara kritis. Laporan AJI dan Amnesty International menunjukkan tren mengkhawatirkan terhadap penurunan ruang sipil di Indonesia.

Arsandi, Kabid Kebijakan Publik PP KAMMI, menambahkan, “Negara ini tak sedang baik-baik saja. Bukan hanya rakyat yang lapar karena krisis ekonomi, tetapi juga demokrasi yang sekarat karena dibungkam.” Ia menegaskan bahwa negara wajib menjamin kebebasan sipil, bukan mengkriminalkan rakyat yang bersuara.

PP KAMMI juga menyoroti lemahnya komitmen pemberantasan korupsi. KPK sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi kini kehilangan taring. Sejumlah kasus besar tak tersentuh, sementara korupsi merajalela hingga triliunan rupiah, seperti kasus Pertamina, Timah, hingga Jiwasraya.

“Pemberantasan korupsi hanya jadi jargon, sementara uang rakyat dirampok setiap hari. Pemerintah yang takut membersihkan korupsi adalah pemerintah yang tak layak dipercaya,” seru Jundi. Ia mendesak Presiden segera menerbitkan Perppu Perampasan Aset sebagai langkah nyata melawan kejahatan luar biasa ini.

Dalam bidang ekonomi, jutaan rakyat Indonesia masih hidup dalam kemiskinan dan ketimpangan. Laporan Bank Dunia menyebutkan 60% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan versi negara berpendapatan menengah atas. Ini menunjukkan bahwa janji reformasi untuk menyejahterakan rakyat belum juga terwujud.

Lebih jauh lagi, PP KAMMI mengecam proses legislasi yang dikuasai oligarki. Undang-undang penting disahkan secara kilat, tanpa transparansi dan partisipasi publik yang memadai. UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga revisi UU TNI adalah contoh nyata bagaimana parlemen bekerja untuk elite, bukan rakyat.

“Kita sedang menghadapi kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir orang kaya. Demokrasi hari ini bukan lagi kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat—tetapi kekuasaan dari oligarki, oleh oligarki, untuk oligarki,” ujar Jundi dengan nada geram. Ia menyerukan konsolidasi gerakan mahasiswa di seluruh Indonesia.

Melalui aksi ini, PP KAMMI menyampaikan tujuh tuntutan: (1) Menolak Dwifungsi TNI, tolak revisi UU TNI (2) Mengecam represivitas aparat, menolak RUU Polri (3) Menuntut jaminan kebebasan berekspresi dan pers, (4) Mendesak Perppu Perampasan Aset dan pemberantasan korupsi, (5) Mengusut pelanggaran HAM berat, (6) Mewujudkan ekonomi yang adil dan lapangan kerja yang layak, serta (7) Menghentikan praktik legislasi kilat.

Aksi ini bukan akhir, tetapi awal dari gelombang perlawanan yang lebih luas. “Kami tidak menuntut kekuasaan, kami menuntut keadilan. Dan selama keadilan itu belum hadir, mahasiswa akan terus melawan,” pungkas Ahmad Jundi KH.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *