BeritaHEADLINESumatera Utara

Kemana Saja Kelembagaan Bentukan Pemerintah Pusat Selama Ini, Hingga Geopark Kaldera Toba Mendapat Kartu Kuning dari UNESCO?

×

Kemana Saja Kelembagaan Bentukan Pemerintah Pusat Selama Ini, Hingga Geopark Kaldera Toba Mendapat Kartu Kuning dari UNESCO?

Sebarkan artikel ini
Wilmar Simanjorang tengah, sedang berbincang bincang denagn pengamat lingkungan di Sigulatti Sianjur mula-mula Kab. Samosir.

Views: 182

SAMOSIR, JAPOS.CO — Ketika dunia semakin khawatir terhadap kerusakan lingkungan dan degradasi ekosistem, muncul beragam inisiatif dan kelembagaan sebagai respon terhadap krisis tersebut. Salah satunya adalah konsep Geopark — sebuah pendekatan konservasi berbasis kawasan yang tidak hanya menjaga kekayaan geologi, tetapi juga mengintegrasikan aspek pendidikan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat. Konsep ini menjadi salah satu bentuk solusi global sejak awal tahun 2000-an.

Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan geologi luar biasa, tentu tidak ingin tertinggal. Sejumlah kawasan, termasuk Geopark Kaldera Toba, telah didaftarkan dan bahkan diakui oleh UNESCO. Namun, di tengah semangat tersebut, muncul pertanyaan besar yang menggelitik: Mengapa Geopark Kaldera Toba justru mendapat “kartu kuning” dari UNESCO pada 2024? Kemana saja kelembagaan pemerintah yang dibentuk untuk mendukung keberhasilan geopark selama ini?

Secara normatif, pengembangan geopark di Indonesia telah mendapatkan legitimasi kuat melalui sejumlah regulasi, antara lain:

1.Permen Bappenas No. 15/2020 tentang Rencana Aksi Nasional Pengembangan Geopark Indonesia 2021–2025.

2.Permenparekraf No. 2/2020 tentang Pedoman Teknis Pengembangan Geopark Sebagai Destinasi Pariwisata.

3.Permen ESDM No. 31/2021 tentang Penetapan Taman Bumi (Geopark) Nasional.

Ketiga peraturan tersebut tidak hanya memuat kerangka legal formal, tapi juga mengatur peran setiap pemangku kepentingan, dari pusat hingga daerah. Bahkan, sumber pembiayaan pun telah dirinci: dari APBN, APBD, hingga hibah dan filantropi.

Namun kenyataannya, peraturan tinggal di atas kertas. Pengelolaan Geopark Kaldera Toba tampaknya belum sepenuhnya mematuhi atau mengimplementasikan isi dari regulasi tersebut. Ironis, mengingat kawasan ini bukan geopark sembarangan, melainkan situs global warisan geologi dan budaya Batak yang sudah diakui UNESCO.

Untuk melaksanakan regulasi tersebut, dibentuklah berbagai kelembagaan tingkat nasional:

  • Komite Nasional Geopark Indonesia (KNGI)
  • Jaringan Geopark Indonesia (JGI)
  • Sekretariat RAN Geopark (Bappenas)
  • Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU)
  • Plus, kelembagaan sektoral dan daerah.

Secara teoritis, tugas dan fungsi masing-masing lembaga sudah sangat jelas: mulai dari koordinasi kebijakan, pendampingan daerah, penyusunan rencana (RIP, Master Plan, RPJM, RKT), hingga pengelolaan pendanaan.

Namun dalam praktiknya, koordinasi kerap kali hanya menjadi jargon administratif. Banyak dari lembaga ini tampak bekerja dalam silo, dan cenderung “menunggu bola” daripada bersikap proaktif. Hal ini terkonfirmasi dengan lambannya respon terhadap peringatan serius dari UNESCO terkait Geopark Kaldera Toba.

Apakah ini cerminan dari adagium lama: “petugas menciptakan tugas, bukan tugas menciptakan petugas”? Artinya, lembaga dibentuk hanya untuk memenuhi formalitas, bukan untuk benar-benar menyelesaikan masalah.

Satu lagi ironi muncul dari sisi struktural. Berdasarkan Perpres No. 9/2019, KNGI berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves). Namun dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, posisi Menko Marinves dihapuskan. Konsekuensinya, posisi Ketua Dewan Pengarah KNGI kini menjadi limbo institusional — tanpa kejelasan siapa yang seharusnya mengemban tugas strategis tersebut.

Situasi ini membuat KNGI seolah kehilangan arah. Tanpa figur pemimpin yang kuat dan struktur yang jelas, kelembagaan ini menjadi macet di tengah jalan. Maka tak heran, ketika UNESCO mengeluarkan peringatan berupa kartu kuning kepada Geopark Kaldera Toba pada 2024, respons dari institusi terkait nyaris tak terdengar.

Rekomendasi Rakornas: Sebatas Rencana, atau Akan Dilaksanakan?

Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KNGI yang dilaksanakan pada 5 Desember 2024 di Kebumen, sejatinya menghasilkan sejumlah rekomendasi penting. Di antaranya:

1.Revisi Perpres No. 9/2019, agar struktur organisasi KNGI sesuai dengan format kabinet baru.

2.Penguatan pembiayaan geopark melalui pendekatan blended finance, melibatkan APBN, APBD, CSR, hibah internasional, filantropi, hingga investasi individu yang memiliki kepedulian terhadap keberlanjutan geopark.

Namun lagi-lagi, semua ini masih dalam tahap rencana dan rekomendasi. Belum terlihat ada langkah konkret di tapak—khususnya di Geopark Kaldera Toba—untuk menjawab rekomendasi UNESCO yang harus dilaksanakan pada periode 2023–2025.

Apakah Geopark Hanya Proyek Branding?

Jika diperhatikan dengan lebih jeli, Geopark Kaldera Toba kerap kali hanya menjadi “panggung promosi” tanpa ada intervensi nyata terhadap persoalan lingkungan, sosial, dan kelembagaan yang melingkupinya. Banyak agenda hanya berhenti pada workshop, seminar, dan kunjungan seremonial.

Sementara itu, masyarakat di sekitar tapak geopark tidak sepenuhnya diberdayakan. Infrastruktur pendukung masih minim. Kurikulum pendidikan berbasis geopark belum merata. Komitmen lintas sektor pun belum satu suara.

Apakah ini artinya geopark hanya proyek branding pariwisata belaka, tanpa akar dan keberlanjutan nyata?

Menjelang revalidasi UNESCO pada Juni 2025, nasib Geopark Toba kembali dipertaruhkan. Revalidasi sebelumnya pada September 2023 telah meninggalkan catatan kelam: kartu kuning dari UNESCO. Meski kunjungan evaluatif telah dilakukan oleh Tim Kemenko Marves, Kementerian Pariwisata, dan Komite Nasional Geopark Indonesia (KNGI), fakta di lapangan menunjukkan bahwa upaya nyata untuk mengatasi permasalahan mendasar masih jauh dari kata cukup.

Ironisnya, alih-alih menjadi pusat pembangunan berkelanjutan dan pelibatan masyarakat lokal, Geopark Toba kerap terkesan hanya sebagai objek kunjungan formalitas. Seminar, studi banding ke luar negeri, dan safari geopark dalam negeri dilakukan silih berganti. Namun, hasilnya lebih dirasakan oleh para pejabat yang memperkaya pengetahuan pribadi, bukan oleh masyarakat lokal yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam pengelolaan geosite.

Di lapangan, kebutuhan dasar seperti perencanaan matang, manajemen profesional, pendanaan berkelanjutan, dan pelibatan masyarakat lokal masih belum terpenuhi. Enam rekomendasi utama UNESCO tahun 2020 bahkan belum sepenuhnya dijalankan, sementara tahun 2024 telah menghadirkan daftar rekomendasi baru yang harus dipenuhi. Tanpa perubahan pendekatan yang mendasar, ancaman degradasi status Geopark Toba semakin nyata.

Lebih jauh, praktik rotasi jabatan di kementerian membuat kesinambungan program semakin lemah. Pejabat yang sempat “menikmati” Geopark kerap pindah ke posisi lain yang tidak lagi terkait, meninggalkan proyek-proyek tanpa pengawasan lanjutan. Situasi ini memperkuat kesan bahwa Geopark lebih menjadi alat politik anggaran ketimbang alat pembangunan kawasan.

Yang lebih memprihatinkan, hingga kini belum tampak keterlibatan kuat dari Gubernur Sumatera Utara maupun tujuh bupati di kawasan Danau Toba. Padahal, peran mereka sangat krusial dalam memastikan keberlangsungan geopark, terutama dalam pengalokasian anggaran dan pembangunan infrastruktur di setiap geosite.

Waktu terus berjalan, dan hanya tinggal hitungan minggu menuju kedatangan tim revalidasi UNESCO. Tanpa tindakan nyata, Geopark Toba bisa kehilangan momentum sebagai kawasan strategis nasional yang seharusnya membawa manfaat jangka panjang bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.

Sudah saatnya pemerintah berhenti menjadikan geopark sebagai panggung seremoni. Geopark adalah proyek jangka panjang yang menuntut komitmen lintas sektor dan kepemimpinan yang konsisten. Jika tidak, kartu kuning berikutnya bisa berubah menjadi pencabutan status – pukulan telak bagi reputasi Indonesia di mata dunia.

Kartu kuning dari UNESCO seharusnya menjadi momen refleksi nasional, bukan sekadar alarm. Pemerintah, khususnya kementerian teknis dan lembaga yang sudah dibentuk, perlu melakukan audit total terhadap pelaksanaan geopark di Indonesia. Mulai dari evaluasi kelembagaan, reformulasi struktur koordinasi, hingga penguatan kehadiran negara di lapangan.

Indonesia punya peluang besar melalui geopark. Tapi tanpa keseriusan dan sinergi lintas lembaga, bukan mustahil “kartu kuning” akan berubah menjadi “kartu merah”.

Dan jika itu terjadi, bukan hanya Geopark Kaldera Toba yang tercoreng, melainkan juga wajah Indonesia di mata dunia.***

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *