BeritaHEADLINESumatera Utara

Seriuskah Gubernur Sumatera Utara Membangun Kawasan Danau Toba Berbasis Geopark?

×

Seriuskah Gubernur Sumatera Utara Membangun Kawasan Danau Toba Berbasis Geopark?

Sebarkan artikel ini
Wilmar Eliaser Simandjorang.

Views: 237

SAMOSIR, JAPOS.CO – Setelah hampir dua dekade sejak gagasan Geopark Toba mulai diwacanakan, kini muncul pertanyaan yang semakin relevan: sejauh mana keseriusan Gubernur Sumatera Utara dalam membangun Kawasan Danau Toba sebagai kawasan Geopark bertaraf global?

Di atas kertas, perhatian gubernur tampak—dari mendengarkan masukan, memberikan dukungan emosional, hingga menyusun berbagai peraturan. Namun, ketika dicermati lebih dalam, dukungan yang tampak ini justru seringkali berhenti pada simbolik dan tidak menyentuh substansi pembangunan geopark secara profesional dan berkelanjutan.

Perubahan Kelembagaan dan Kepemimpinan Lemah: Gonta-Ganti Tanpa Arah

Selama 15 tahun perjalanan Geopark Kaldera Toba, tercatat enam kali perubahan kelembagaan yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan geopark. Namun pengisian jabatan dalam lembaga tersebut kerap berbasis pertimbangan politik, bukan kompetensi profesional. Akibatnya, pengelolaan Geopark Toba gagal memenuhi standar yang ditetapkan UNESCO.

Bukti nyata dari lemahnya manajemen ini terlihat dari lima kali keluarnya rekomendasi perbaikan dari UNESCO:

  • 2015 di San’in Kaigan, Jepang
  • 2018 di Italia
  • 2020
  • 2023
  • 2024, dengan batas waktu pemenuhan hingga Juni 2025

Status “Yellow Card” yang disematkan oleh UNESCO sejak 2023 mencerminkan kegagalan memenuhi standar dasar keberlanjutan geopark, baik dari sisi edukasi, konservasi, maupun pemberdayaan masyarakat lokal.

Klaim Kepedulian vs Realitas di Lapangan

Meski kesepakatan pembangunan Danau Toba berbasis geopark pernah diteken pada 2013 oleh Gubernur dan para bupati, implementasinya mandek. Pengakuan Geopark Kaldera Toba sebagai Geopark Nasional pada 2014 oleh Presiden SBY ternyata tidak diiringi dengan langkah strategis yang memadai.

Kegagalan pertama terjadi pada 2015, saat proposal untuk menjadi bagian dari UNESCO Global Geopark ditolak. Penyebab utamanya: lembaga pengelola yang belum lengkap dan absennya dukungan dana operasional serta infrastruktur geopark.

Pada 2018, kegagalan kembali terjadi karena dokumen DOSIR tidak dikirim ke UNESCO. Bahkan setelah perhatian Presiden Jokowi dan kunjungan Ibu Negara ke Desa Sigulatti, pengelolaan tetap lemah, dan master plan geopark hingga kini belum difinalisasi secara resmi.

Pengakuan Geopark Kaldera Toba oleh UNESCO pada 10 Juli 2020 bukan hasil dari kerja optimal Pemerintah Provinsi, melainkan intervensi langsung dari pemerintah pusat—khususnya Menteri Pariwisata saat itu, Arief Yahya, dan dorongan dari Istana.

Namun ironis, pasca-pengakuan tersebut, tantangan geopark justru semakin kompleks. Pembentukan Badan Pengelola (BP TC UGGp) molor dan tidak dilakukan langsung oleh Gubernur. Lemahnya kepemimpinan kembali berdampak buruk: rapat UGGp pada 2023 menghasilkan “kartu kuning” dari UNESCO.

Minimnya Dukungan Nyata dari Pemprov dan Pemkab

Kesepakatan 2013 tampaknya kini hanya menjadi dokumen arsip. Tidak ada program konkret, tidak ada alokasi dana memadai, dan tidak ada koordinasi lintas kabupaten yang efektif. Informasi terakhir menyebutkan bahwa menjelang revalidasi UNESCO pada Juni 2025, pun tidak tersedia anggaran yang dibutuhkan.

Padahal, semboyan geopark “Memuliakan Warisan Bumi, Mensejahterakan Masyarakat” seharusnya menjadi dasar moral sekaligus strategi pembangunan. Namun tanpa kepemimpinan yang visioner dan komitmen politik yang kuat, semboyan itu tinggal menjadi jargon kosong.

Pertanyaannya kini mengerucut: seriuskah Gubernur Sumatera Utara membangun kawasan Danau Toba berbasis Geopark?

Jika indikator keseriusan adalah konsistensi, profesionalisme, dan dukungan nyata dalam bentuk program serta anggaran, maka jawabannya masih patut dipertanyakan.

Dan jika hingga Juni 2025 rekomendasi UNESCO kembali tidak dipenuhi, bukan tidak mungkin Geopark Kaldera Toba akan dicabut dari daftar UNESCO Global Geopark. Sebuah kemunduran besar bagi kawasan yang seharusnya menjadi etalase wisata alam dan budaya Sumatera Utara di mata dunia.

Geopark Toba Terancam Gagal Revalidasi: Janji Gubernur Masih di Udara, Dukungan Nyata Belum Terlihat

Dalam pertemuan strategis di Parapat pada 17 April 2025 yang lalu, Gubernur Sumatera Utara, Muhammad Bobby Afif Nasution, menyampaikan komitmennya untuk mendukung Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark (BP TC-UGGp) dalam menghadapi proses revalidasi keanggotaan oleh UNESCO. Target utamanya: mengembalikan status Geopark Toba dari “kartu kuning” menjadi “kartu hijau”.

Gubernur mengaku telah memahami ruang lingkup dan persoalan teknis yang dihadapi Badan Pengelola. Dalam perspektif manajemen strategis, penguasaan terhadap masalah memang merupakan langkah awal yang sangat penting—namun tidak cukup. Sebab, mengetahui masalah tanpa tindakan konkret hanyalah separuh dari solusi.

Gubernur juga berjanji akan segera menerima audiensi dari BP TC-UGGp. Namun, hingga hampir sebulan sejak pertemuan di Parapat, janji tersebut belum terealisasi. Justru yang muncul ke permukaan adalah pernyataan dari General Manager BP TC-UGGp mengenai ketiadaan dana operasional, baik dari APBD Provinsi Sumatera Utara maupun APBD dari tujuh kabupaten yang menjadi wilayah geopark.

Akibatnya, Badan Pengelola harus menjalankan program-program mendesak dengan biaya pribadi dan dana talangan dari GM serta para manajer, tanpa honorarium dan tanpa kepastian dukungan institusional. Situasi ini bukan hanya memprihatinkan, tapi juga memperlihatkan pola klasik dari kurangnya keberpihakan pemerintah daerah terhadap pembangunan berkelanjutan berbasis geopark.

Ketiadaan anggaran yang memadai, minimnya pembangunan infrastruktur, dan lemahnya sinergi lintas sektor telah menjadi “penyakit kronis” Geopark Toba sejak lama. Sayangnya, meskipun statusnya sebagai UNESCO Global Geopark merupakan prestise internasional, perhatian dari pemangku kebijakan lokal tidak mencerminkan keseriusan untuk mempertahankannya.

Padahal, green card dari UNESCO bukan sekadar status administratif. Ia adalah simbol komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Bila ketiganya tak berjalan, apakah layak Geopark Toba mendapatkan pengakuan internasional kembali?

Seperti dikatakan Dr. Stephen Tong: “Berilmu tapi tak bergelar, sayang sedikit. Bergelar tapi tak berilmu, malu sebakul.” Analogi ini tepat untuk menggambarkan kondisi Geopark Toba saat ini: memiliki label internasional, tapi tak didukung oleh substansi lapangan.

Masyarakat di sekitar geosite masih banyak yang tidak memahami apa itu Geopark, apalagi merasakan manfaat ekonominya. Pembangunan berbasis konservasi dan edukasi yang menjadi pilar geopark belum menunjukkan dampak nyata. Bahkan, masalah ekologi di kawasan Danau Toba semakin mengkhawatirkan. Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST, Ephorus HKBP, pernah menyatakan bahwa “kondisi Tano Batak saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja.”

Dengan kondisi seperti ini, publik patut bertanya: apakah Toba Caldera Geopark layak mendapatkan green card dari UNESCO pada akhir 2025? Ataukah, justru warning internasional itu adalah momen reflektif bagi semua pihak—bahwa label global tidak bisa menutupi kegagalan lokal?

Saatnya Bekerja, Bukan Sekadar Berjanji

Jika pemerintah provinsi benar-benar serius, maka dukungan tidak cukup berhenti pada retorika. Butuh langkah konkret, cepat, dan strategis. Penyusunan anggaran harus dipercepat, pertemuan dengan BP TC-UGGp harus diprioritaskan, dan visi geopark harus dijadikan bagian integral dari pembangunan daerah.

Jika tidak, bukan hanya green card yang melayang. Tetapi juga kepercayaan masyarakat, reputasi internasional, dan masa depan kawasan Danau Toba sebagai warisan geologis dunia. ***

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *