BeritaHEADLINESumatera Utara

Geopark Bukan Pariwisata: Saatnya Luruskan Arah, Bukan Sekadar Mengejar Wisatawan

×

Geopark Bukan Pariwisata: Saatnya Luruskan Arah, Bukan Sekadar Mengejar Wisatawan

Sebarkan artikel ini
Wilmar Eliaser Simandjorang.

Views: 87

SAMOSIR, JAPOS.CO – Tulisan ini disusun sebagai respons atas kebingungan publik, serta sebagai bentuk pencerahan kepada seluruh pemangku kepentingan—termasuk pemerintah daerah dan para pengelola Geopark—yang kerap kali keliru memaknai konsep geopark dengan pariwisata. Kekeliruan ini tak hanya merugikan konsep dasar geopark itu sendiri, tetapi juga mengaburkan arah pembangunan berkelanjutan yang seharusnya menjadi inti utama dari Geopark.

Sebagai seseorang yang telah lebih dari satu dekade mengabdi di dunia geopark, penulis menyaksikan langsung bagaimana banyak pengelola masih menyamakan geopark dengan destinasi wisata konvensional. Hal ini terlihat jelas saat kunjungan tim asesor UNESCO dalam proses revalidasi: alih-alih mempresentasikan warisan geologi yang otentik, sejumlah pengelola justru mengajak asesor mengunjungi spot-spot buatan yang sedang viral di media sosial. Tak heran jika asesor kemudian dengan tegas menyatakan, “This isn’t a geopark”. Lebih menyakitkan lagi, mereka menilai bahwa nama geopark sedang diselewengkan demi kepentingan bisnis.

Geopark Bukan Tempat Wisata, Tapi Instrumen Pembangunan Berkelanjutan

Geopark bukanlah taman hiburan atau objek wisata biasa. Ia adalah kawasan yang mengintegrasikan konservasi warisan bumi, edukasi masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi lokal dalam satu kesatuan sistem berkelanjutan. Filosofi utamanya adalah: “Memuliakan Bumi, Mensejahterakan Masyarakat”.

Berbeda dengan pariwisata yang bersifat konsumtif dan seringkali eksploitif, geopark justru mengajak masyarakat untuk menjadi subjek pembangunan. Bukan objek tontonan. Karena itu, pembangunan geopark harus dilakukan melalui pendekatan bottom-up, melibatkan masyarakat lokal secara aktif dan bermakna. Geopark sejati tak lahir dari tangan politisi oportunis atau pemburu rente, tetapi dari jiwa-jiwa pengabdi yang memahami roh geopark sebagai pergerakan, bukan proyek.

Geopark dan Pariwisata: Dua Hal Berbeda, Bisa Saling Mendukung Tapi Tidak Sama

UNESCO Global Geoparks (UGGp) menekankan bahwa geopark bukanlah pariwisata, meski dalam praktiknya dapat melahirkan bentuk turisme yang disebut geowisata. Namun penting dicatat: geowisata lahir dari warisan geologi, bukan sebaliknya. Pariwisata hanyalah konsekuensi positif jika pengelolaan geopark dilakukan dengan benar—bukan menjadi tujuan utamanya.

Pariwisata, menurut UN Tourism, adalah aktivitas perpindahan orang untuk rekreasi, bisnis, atau kegiatan lain non-produktif. Sementara geopark adalah ruang hidup, ruang belajar, dan ruang warisan bumi yang dilindungi, dijaga, dan diwariskan lintas generasi. Ketika geopark dipersempit hanya sebagai alat promosi wisata, maka kehancuran filosofinya hanya tinggal menunggu waktu.

Tantangan Serius: Dari Mentalitas Ekstraktif hingga Lemahnya Regulasi

Pengembangan geopark di Indonesia menghadapi tantangan serius:

  1. Mentalitas ekstraktif masih mendominasi para pemegang kebijakan, yang tergoda oleh hasil jangka pendek dan mengabaikan konservasi jangka panjang.

  2. Penegakan hukum lemah, membuat regulasi konservasi sering diabaikan dan tak mampu melindungi situs-situs geologi penting.

  3. Kesenjangan ekonomi masyarakat sekitar geopark mempersulit upaya konservasi dan pemberdayaan, karena kebutuhan ekonomi mendesak mendorong eksploitasi sumber daya.

  4. Keterbatasan pemahaman pengelola terhadap filosofi geopark menyebabkan banyak yang keliru arah, mengedepankan estetika visual semu daripada nilai ilmiah dan edukatif yang seharusnya diangkat.

Geopark harus dikelola oleh mereka yang punya semangat pengabdian, bukan ambisi pribadi. Profesionalisme, dedikasi, dan keterlibatan masyarakat lokal menjadi kunci. Pendekatan top-down yang kaku hanya akan melahirkan program-program artifisial tanpa akar. Sebaliknya, pendekatan bottom-up dengan partisipasi aktif masyarakat menjamin keberlangsungan geopark sebagai ruang hidup bersama.

Geopark Toba, misalnya, mencakup kawasan geologi yang luar biasa: Danau Toba, Pulau Samosir, dan sekitarnya. Nilai-nilai ilmiah, edukatif, dan estetika di kawasan ini tak akan pernah bisa digantikan oleh spot-spot selfie atau atraksi instan lainnya.

Jika kita ingin Geopark bertahan dan berfungsi sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan, maka kita harus berani berkata tegas: Geopark adalah Geopark. Bukan Pariwisata. Pariwisata boleh memanfaatkan geopark secara selektif dan beretika, tetapi tidak boleh menjadi tuannya. Mari kelola geopark dengan hati, dengan jiwa yang memahami bahwa memuliakan bumi adalah jalan untuk mensejahterakan manusia.***

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *