BeritaHEADLINESumatera Utara

Ephorus HKBP Victor Tinambunan Serukan Penutupan TPL: “Krisis Sosial-Ekologis Tak Bisa Dibiarkan Lagi”

×

Ephorus HKBP Victor Tinambunan Serukan Penutupan TPL: “Krisis Sosial-Ekologis Tak Bisa Dibiarkan Lagi”

Sebarkan artikel ini
Ephorus HKBP, Pdt. Dr Victor Tinambunan.

Views: 214

MEDAN, JAPOS.CO – Seruan moral sekaligus kecaman keras terhadap PT Toba Pulp Lestari (TPL) datang dari pucuk pimpinan Gereja HKBP, Ephorus Pendeta Dr. Victor Tinambunan. Melalui pernyataan terbuka yang dipublikasikan di akun media sosialnya pada Rabu (7/5/2024), Ephorus menuntut agar operasional PT TPL segera dihentikan. Ia menilai keberadaan perusahaan tersebut selama lebih dari tiga dekade telah meninggalkan jejak kerusakan sosial dan ekologis yang parah di wilayah Tano Batak.

“Dengan penuh tanggung jawab moral sebagai bagian dari masyarakat adat Batak dan sebagai pimpinan Gereja HKBP, saya menyerukan agar PT TPL ditutup,” tegasnya.

Kritik Terbuka terhadap PT TPL: Relasi Sosial Gagal Dibangun

Dalam pernyataannya, Ephorus Tinambunan menggarisbawahi lemahnya relasi sosial antara PT TPL dengan masyarakat lokal. Ia menyebut, “Mayoritas masyarakat bahkan tidak mengenal siapa pemilik utama TPL. Ini adalah ironi besar—perusahaan raksasa yang mengeruk hasil bumi dari tanah kami, namun tetap asing secara sosial.”

Ia menilai hal itu sebagai bentuk kegagalan etika bisnis, pelanggaran terhadap norma adat, dan bukti pengabaian terhadap prinsip tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Lebih lanjut, ia menyoroti ketimpangan ekonomi mencolok yang ditimbulkan PT TPL. Meski menghasilkan triliunan rupiah dari sumber daya alam Tano Batak, perusahaan tersebut dinilai tidak memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat setempat.

“Ironis, keuntungan besar itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan atau pembangunan ekonomi lokal. Ini adalah wajah nyata dari relasi eksploitatif antara korporasi dan komunitas adat,” ujar Ephorus.

Krisis Ekologis dan Sosial yang Berkepanjangan

Poin ketiga yang disorot adalah dampak ekologis dan sosial yang dinilai semakin tak terbendung. “PT TPL telah memicu kerusakan lingkungan berskala luas: deforestasi, pencemaran air dan udara, bencana ekologis seperti banjir dan longsor, serta hilangnya lahan produktif masyarakat,” katanya.

Tak hanya itu, relasi antarwarga pun ikut rusak akibat konflik lahan yang terus berulang. “Akumulasi kemarahan masyarakat kini mengendap dalam ketakutan dan represi,” ujarnya, menegaskan bahwa ini bukan persoalan insidental, melainkan konflik struktural yang dibiarkan membusuk selama puluhan tahun.

Ephorus juga menyerukan agar para karyawan yang terdampak dari penutupan perusahaan diberikan pesangon layak sebagai modal awal kehidupan baru yang lebih manusiawi.

AMAN: Ini Suara Perlawanan yang Telah Lama Bergema

Mendukung pernyataan tersebut, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Johntony Tarihoran, menyebut seruan Ephorus merupakan refleksi dari jeritan panjang masyarakat adat. “Selama lebih dari 30 tahun, masyarakat bersuara, melawan perampasan hak oleh PT TPL, yang sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama,” ujarnya.

Johntony menegaskan bahwa perusahaan tersebut tidak hanya merusak alam, tetapi juga melanggar hak asasi masyarakat adat, termasuk hak atas tanah dan budaya.

Data Mencengangkan: 25 Ribu Hektare Lahan Adat Diklaim Sepihak

AMAN mencatat bahwa sekitar 25.366 hektare wilayah adat diklaim secara sepihak sebagai konsesi PT TPL tanpa melalui proses persetujuan yang sah dari masyarakat adat pemilik tanah. Area tersebut mencakup sumber air, hutan kemenyan, lahan sakral, dan kebun produktif seperti kopi dan durian yang telah dihancurkan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, AMAN mencatat sedikitnya 260 orang mengalami kriminalisasi dan kekerasan antara tahun 1998–2025 karena mempertahankan tanah adat mereka dari ekspansi perusahaan.

Tak hanya berhenti di seruan kritis, Ephorus juga menginisiasi gerakan moral “Ibadah Merawat Alam” yang digelar di berbagai titik di Tano Batak, termasuk Lumbanjulu, Samosir, dan Tarutung. Gerakan ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap kerusakan lingkungan bukan sekadar isu politik atau hukum, tetapi juga panggilan iman dan moralitas.

Dengan tegas, Ephorus Tinambunan menutup pernyataannya: “Penutupan TPL bukan sekadar desakan emosional, ini adalah langkah preventif demi mencegah krisis sosial dan ekologis yang lebih dalam, demi Tano Batak, Sumatera Utara, dan keberlanjutan bumi.” (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *