Views: 183
SAMOSIR, JAPOS.CO – Di balik keindahan alam Kaldera Toba yang menakjubkan, tersimpan misi besar yang tak bisa ditunda: menjaga warisan geologi, hayati, dan budaya sambil memberdayakan masyarakat lokal. Sejak dinobatkan sebagai UNESCO Global Geopark pada 10 Juli 2020, Kaldera Toba memikul tanggung jawab untuk menjadi contoh nyata pembangunan berkelanjutan. Namun, gelar prestisius itu tak cukup hanya bertumpu pada panorama dan sejarah vulkanik—partisipasi aktif masyarakat menjadi penentu utamanya.
Dengan visi besar: “Memuliakan Bumi, Mensejahterakan Masyarakat”, Geopark Kaldera Toba tak akan berjalan tanpa keterlibatan warga di 16 geosite yang tersebar di kawasan Danau Toba. Masyarakat bukan hanya pelengkap formalitas—mereka adalah motor penggerak utama.
Tantangan: Kartu Kuning dari UNESCO dan Minimnya Partisipasi
Namun, di balik gemilangnya potensi, pengelolaan Geopark Kaldera Toba masih menghadapi jalan terjal. Pada 2023, UNESCO menjatuhkan “kartu kuning” kepada Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BP TCUGGp) karena lemahnya manajemen dan belum ditindaklanjutinya enam rekomendasi penting sejak 2020. Vakumnya aktivitas pengelolaan membuat status geopark terancam—sebuah sinyal peringatan keras.
Lebih dari itu, pemahaman masyarakat mengenai apa itu geopark dan bagaimana mereka bisa terlibat di dalamnya masih minim. Akibatnya, potensi ekonomi dan konservasi yang seharusnya berjalan sinergis di tiap geosite, belum tergarap maksimal.
Masyarakat Pilar Penyangga Geopark yang Berkelanjutan
Mengembalikan kepercayaan UNESCO bukan sekadar soal dokumen administratif, tapi soal membangun pondasi sosial yang kuat. Masyarakat adalah jantung dari keberlanjutan geopark. Beberapa strategi konkret yang bisa dilakukan antara lain:
-
Edukasi dan Sosialisasi Komunitas
-
Festival budaya, pelatihan interpretasi geologi, dan pelibatan generasi muda dapat menumbuhkan rasa memiliki.
-
Pemandu wisata lokal perlu dibekali narasi geowisata yang holistik: geologi, budaya Batak, dan keanekaragaman hayati.
-
-
Pemberdayaan Ekonomi Lokal
-
UMKM seperti kopi Lintong, ulos, dan kerajinan tangan dapat menjadi sumber ekonomi sekaligus alat pelestarian budaya.
-
Homestay dan wisata berbasis komunitas memperkuat nilai tambah dari kehadiran wisatawan.
-
-
Pelibatan dalam Pengambilan Keputusan
-
Masyarakat tidak boleh hanya jadi penonton. Mereka harus ikut merancang, mengevaluasi, dan mengawasi kebijakan geopark.
-
-
Kemitraan Setara dan Kolaboratif
-
Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, media, dan masyarakat harus dibangun dengan prinsip kesetaraan, bukan dominasi.
-
-
Kader Geopark: Masyarakat sebagai Agen Perubahan
-
Warga desa sekitar geosite bisa menjadi kader pembangunan yang aktif mengedukasi dan menginspirasi lingkungannya.
-
-
Literasi Lingkungan dan Mitigasi Bencana
-
Karena Kaldera Toba adalah kawasan rawan bencana, edukasi mitigasi menjadi kunci keselamatan sekaligus keberlanjutan.
-
Strategi Menuju Green Card UNESCO 2025
Untuk meraih kembali kepercayaan UNESCO dan lolos revalidasi pada Juni 2025, strategi ini mutlak diterapkan:
-
Penguatan Kelembagaan: BP TCUGGp perlu dibenahi secara struktural dan personalia—harus diisi oleh SDM yang kompeten dalam tata kelola geopark.
-
Peningkatan Kapasitas Masyarakat: Pelatihan berkelanjutan akan memperkuat kemandirian masyarakat dalam mengelola geosite secara profesional.
-
Kolaborasi Multipihak: Perlu sinergi nyata antara pemerintah, perguruan tinggi, sektor swasta, komunitas lokal, dan media untuk memperkuat ekosistem geopark.
Indikator Sukses: Ketika Masyarakat Menjadi Subjek Pembangunan
Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam konteks Geopark Kaldera Toba ditandai dengan:
-
Pemahaman kolektif tentang nilai geologi, hayati, dan budaya.
-
Tumbuhnya lapangan kerja lokal berbasis geowisata.
-
Meningkatnya pendapatan warga dari kegiatan konservasi dan wisata.
-
Partisipasi aktif dan transparan dalam forum pengambilan keputusan.
-
Terbangunnya kepercayaan dan rasa memiliki terhadap geopark.
Belajar dari yang Sukses: Ha Long Bay dan Inovasi Lokal
Geopark Ha Long Bay di Vietnam telah membuktikan bahwa pelibatan masyarakat bisa menjadi kunci pelestarian dan ekonomi sekaligus. Sementara itu, geosite Sipinsur dan Huta Ginjang di Toba mulai menggeliat dengan melibatkan anak muda dalam promosi digital dan edukasi geologi. Ini adalah praktik baik yang bisa direplikasi di lokasi lain.
Namun tantangan seperti kurangnya program kerja yang matang, terbatasnya anggaran, dan lemahnya koordinasi antarlembaga tetap harus diselesaikan secara serius.
Geopark Kaldera Toba bukan sekadar situs warisan—ia adalah harapan. Harapan untuk bumi yang lestari, budaya yang hidup, dan masyarakat yang sejahtera. Tapi harapan itu hanya akan menjadi nyata jika masyarakat ditempatkan sebagai subjek utama pembangunan, bukan sekadar objek wisata.
Menjelang revalidasi UNESCO dan target Green Card pada akhir 2025, saatnya semua pemangku kepentingan bersatu, berkomitmen, dan konsisten. Karena masa depan Geopark Kaldera Toba tak ditentukan oleh sertifikat internasional, tapi oleh masyarakatnya sendiri.***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si ( Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia )