Views: 108
JAKARTA,JAPOS.CO – Hampir dua tahun sejak CM (9), siswi kelas 4 SDN 05 Rambutan, Jakarta Timur, diduga menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolahnya, proses hukum atas kasus ini masih jalan di tempat. Trauma yang mendalam membuat CM tak lagi bersekolah secara normal, sementara pelaku yang telah diidentifikasi dua kali oleh korban belum juga ditangkap.
Peristiwa yang diduga terjadi pada 23 Oktober 2023 itu dilaporkan oleh ibu kandung korban, CMS (37), sehari setelah kejadian, melalui Polres Metro Jakarta Timur dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/3082/X/2023/SPKT/RES.JAKTIM/PMJ. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut konkret dari kepolisian.
Citra, ibu korban, mengungkap bahwa kasus ini terkuak setelah ia menemukan bercak darah di celana dalam anaknya. Setelah dibujuk perlahan, CM mengaku mengenali wajah pelaku meskipun tak mengetahui namanya.
“Anak saya bilang tahu wajahnya, tapi tidak tahu namanya. Saya minta penyidik tunjukkan foto semua guru dan penjaga laki-laki. Dua kali anak saya tunjuk orang yang sama,” ujar Citra dalam konferensi pers, Selasa (29/4/2025).
Sekolah tempat CM bersekolah merupakan gabungan dua sekolah dasar negeri, yakni SDN 04 Susukan dan SDN 05 Rambutan. Pelaku diduga merupakan salah satu staf laki-laki di lingkungan sekolah tersebut.
Ironisnya, meskipun CM telah didampingi petugas dari Unit PPA DKI Jakarta dan berhasil mengidentifikasi terduga pelaku, serta hasil visum sudah diserahkan, aparat penegak hukum berdalih tidak cukup bukti untuk menahan pelaku.
Ketidakjelasan proses hukum semakin menambah penderitaan keluarga. Beberapa kuasa hukum yang sempat memberikan pendampingan, termasuk tim pengacara kondang Hotman Paris dan Alvin Lim, secara misterius menarik diri dari kasus ini tanpa penjelasan rinci.
“Ada yang bilang lawannya terlalu kuat. Saya terus berjuang sendiri. Rasanya seperti melawan tembok,” ujar Citra dengan mata berkaca-kaca.
Lebih menyedihkan lagi, CM praktis tidak menerima pendidikan formal selama hampir dua tahun. Ia hanya mendapat pembelajaran daring terbatas, setelah pihak sekolah terkesan menjauh pasca kejadian.
Dinas Pendidikan sempat membuat perjanjian agar hak belajar CM tetap dijamin, namun pelaksanaannya sangat minim. “Traumanya masih berat. Bahkan saat menunjukkan foto pelaku, dia menangis dan butuh waktu lama untuk bicara,” tambah Citra.
Kasus ini tidak berdiri sendiri. Pada November 2023, seorang ibu lain datang ke rumah Citra dan menyatakan bahwa anaknya juga menjadi korban pelecehan di sekolah yang sama. Namun, seperti kebanyakan kasus kekerasan seksual terhadap anak, suara korban nyaris tak terdengar, terbungkam oleh sistem yang lambat, enggan, dan tidak berpihak.
“Papahnya CM meninggal dunia sebelum sempat melihat keadilan bagi anaknya. Saya tidak akan berhenti. Ini bukan hanya soal anak saya, tapi untuk semua anak yang belum sempat bersuara,” tutup Citra. (Michael)