Views: 373
DHARMASRAYA, JAPOS.CO – Telah terjadi kerusakan hutan akibat pemanfatan dan penggunaan kawasan yg tidak sesuai UU.
Perusakan hutan terutama akibat pembalakan liar, penambangan, perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan sosial budaya, lingkungan hidup serta pemanasan global.
Perusakan hutan telah menjadi kejahatan luar biasa, terorganisir, lintas negara mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat, perlu upaya lebih efektif dan memberi efek jera.
Hal ini telah terjadi di kabupaten Dharmasraya dan ada beberapa pelaku usaha perkebunan seperti Pengusaha Perkebunan Haji Zamzami.
Haji Zamzami yang memiliki ribuan hektar perkebunan kelapa sawit dan izin perkebunan sampai saat ini belum dapat dipastikan ke legalitas perkebunan kelapa sawit tetsebut.
Salah satu warga Kuansing Riau yang tidak bisa disebutkan namanya dapat dikonfirmasi oleh awak media ini karena merasa dirugikan keberadaan perkebunan tersebut.
“Perkebunan kelapa sawit Haji Zamzami ini telah meluas keberadaan hingga batas Provinsi Sumatera Barat dan Riau tidak ada lagi.Tapal batas dengan titik koordinat diabaikan saja “ungkap bapak paroh baya ini.
“Tidak hanya Haji Zamzami tetapi ada beberapa pelaku usaha seperti TC di SP.5 Padang Laweh Dharmasraya juga tampa diketahui titik koordinat perbatasan Provinsi Sumatera Barat,Riau,dan Jambi,sedangkan berdasarkan PETA TOP 1930 itu adalah perjanjian administrasi tiga sudut Jambi,Riau,dan Sumbar”, sebutnya lagi.
Perusakan hutan adalah proses,cara atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan tanpa izin atau izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin didalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah.
Menurut data investigasi awak media ini banyak pelaku usaha diperbatasan Sumbar, Riau dan Jambi yang diduga tidak mengantongi izin usaha perkebunan seperti H.Zamzami,TC(PT.Anom 9 Nagari),Yayasan Pondok pesantren,dan Haji Melona.
Menurut pengakuan salah satu pelaku usaha dilapangan mereka mengantongi sertifikat hak milik(SHM) yang didapat dibeli perkebunan masyarakat setempat. Ini berdasarkan informasi dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit seperti H.Zamzami,TC Anam 9Nagati di SP.5 Padang Laweh,Salah satu yayasan Pondok pesantren di Teratak Tinggi Nagari Teratak Tinggi kecamatan Timpeh.
Pengakuan dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit tetsebut adalah sertifikat hak milik dan akan tetapi lahan ini kebanyakan diperbatasan Tiga Provinsi tadi seperti Jao adalah perbatasan Sumbar dan Riau, Pontren dan TC perkebunan di perbatasan Riau,Sumbar dan Jambi.
Anehnya sertifikat hak milik tersebut didapati dari Kabupaten Dharmasraya Yang dikeluarkan oleh BPN /ATR kabupaten Dharmasraya.
Ketika dihubungi kepala kantor BPN kabupaten Dharmasraya beliau menjawab Lewat HP seluler bahwa beliau ada di Jakarta.
Sesampainya berita ini diturunkan bawa informasi ke absahan legalitas atas perkebunan tersebut belum didapatkan data titik koordinatnya Syah atau berada dihutan kawasan dan atau tidak.
Dari kronologis lahan yang didapatkan oleh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit adalah berdasarkan perambah hutan dengan menumbang kayu,ungkap masyarakat sekitarnya.
Dasar lahan milik masyarakat ini adalah ulah
dari pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.
Penggunaan kawasan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan didalam kawasan hutan untuk perkebunan dan atau pertambangan tanpa izin menteri.
Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh sustu kelompok yang tersetruktur, terdiri dari dua orang atau lebih, dan bertindak secara bersama sama pada waktu tertentu dengan tujuan merusak hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal didalam/sekitar hutan yang melakukan peladangan tradisional dan atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersil.(erman chaniago)