Views: 58
JAKARTA, JAPOS.CO – Toba Caldera, kawasan warisan geologi yang telah menyandang status UNESCO Global Geopark (UGGp) sejak 10 Juli 2020, kini menghadapi tantangan besar. Pada September 2023, UNESCO menjatuhkan peringatan “kartu kuning” akibat sejumlah kelemahan dalam pengelolaan kawasan tersebut.
Berbagai persoalan menjadi sorotan, mulai dari lemahnya koordinasi lintas sektor, kurangnya edukasi dan interpretasi geosite, hingga belum optimalnya fasilitas dan partisipasi lokal. Jika tidak segera ditangani, status geopark Toba bisa terancam. Namun, justru dari titik kritis inilah muncul dorongan kuat untuk reformasi menyeluruh dalam tata kelola geopark—menuju “Green Card” UNESCO pada 2025.
Tantangan Pengelolaan 16 Geosite
Pengelolaan geopark Toba mencakup 16 geosite yang tersebar di empat geoarea utama: Haranggaol, Porsea, Sibandang, dan Samosir, termasuk satu geosite di kawasan perairan Danau Toba. Namun sejak dibubarkannya struktur formal pengelola berdasarkan Pergub Sumut No. 5/2024, muncul kekosongan manajerial karena belum terbentuknya Kelompok Kerja Geopark di seluruh kabupaten.
Selain kelembagaan, tantangan lainnya antara lain:
- Koordinasi belum optimal antar pemangku kepentingan (Pemprov, kabupaten, BP TC UGGp, akademisi, masyarakat).
- Interpretasi geosite minim, papan informasi terbatas, branding UNESCO belum terlihat.
- Partisipasi lokal rendah, baik dalam edukasi, promosi, hingga penyediaan jasa wisata.
- UMKM belum mengangkat nilai geologis dan budaya, masih terpaku pada keindahan alam semata.
Strategi Penguatan: Jalan Menuju Green Card 2025
Merespons peringatan UNESCO, pemerintah daerah, akademisi, dan komunitas menyusun Strategi Pengelolaan Geopark Toba berbasis empat pilar UGGp: konservasi geologi, edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan ekonomi berkelanjutan. Strategi tersebut mencakup:
A.Revitalisasi Struktur & Tata Kelola
- Pembentukan Kelompok Kerja per Geosite, dipimpin oleh manajer berkompetensi geosains & sosial.
- Penyusunan Perda Geopark Toba, serta integrasi dalam dokumen perencanaan daerah.
- Penyelenggaraan Forum Koordinasi Triwulanan antar pemerintah, pengelola, akademisi, dan masyarakat.
B.Penguatan Interpretasi & Pendidikan
- Pemasangan panel interpretatif dan branding kawasan, termasuk QR code multimedia.
- Pendirian Visitor Center dan Centre of Interpretation.
- Pelatihan pemandu lokal dan guru geowisata, bekerja sama dengan BRIN dan universitas.
C.Konservasi & Riset
- Survei berkala geologi dan lingkungan, untuk edukasi dan mitigasi risiko.
- Monitoring dampak pariwisata terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem.
D.Pengembangan Geowisata & UMKM
- Promosi produk GEOfood, mengangkat kearifan lokal Batak.
- Paket wisata tematik yang memadukan aspek geologi, budaya, kuliner, dan homestay ramah lingkungan.
- Promosi digital multibahasa melalui jejaring UNESCO dan Twin Geopark.
E.Kolaborasi Global & Monitoring
- MoU dengan kementerian, NGO, dan universitas.
- Partisipasi aktif di Global Geoparks Network (GGN).
- Monitoring berkala berdasarkan indikator UNESCO, dilengkapi laporan dan audit untuk publikasi global.
Timeline Kunci Menuju Revalidasi UNESCO
Tahapan Waktu Output Utama
Triwulan III 2025 |Pemasangan panel di 16 geosite, branding, Visitor Center online | Visibilitas UNESCO meningkat
Triwulan III 2025 |Pelatihan pemandu dan guru, peluncuran paket wisata tematik | Kapasitas edukatif & ekonomi lokal naik
Triwulan III 2025 | Publikasi riset, sertifikasi lembaga penelitian | Kontribusi ilmiah diakui
Triwulan IV 2025 | Forum evaluasi dan perencanaan berkelanjutan | Kesiapan menuju status Green Card
Kesimpulan
Toba Caldera memiliki potensi luar biasa sebagai laboratorium alam dunia. Jika pengelolaannya dibenahi secara profesional, kolaboratif, dan berbasis edukasi serta konservasi, maka Green Card UNESCO 2025 bukanlah sekadar mimpi, melainkan target realistis.
Keberhasilan ini akan menjadikan Toba sebagai model geopark global, yang tidak hanya melestarikan warisan geologi purba, tetapi juga menghadirkan manfaat konkret bagi kesejahteraan masyarakat Batak di panggung dunia.***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia )