Views: 73
Oleh: Hengki Lumban Toruan, S.kom
JAKARTA, JAPOS.CO – Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, logika seharusnya menjadi fondasi dalam berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan. Namun, belakangan ini kita justru disuguhkan berbagai fenomena yang menunjukkan betapa logika seolah-olah telah kehilangan tempatnya.
Ungkapan “mendukung hilang logika” dan “berteman hilang logika” menjadi refleksi atas kondisi sosial kita yang semakin permisif terhadap absurditas dan ketidakwarasan berpikir. Kalau kata Agnes Monika dalam lagunya ‘Cinta Ini Kadang-kadang Tak Ada Logika’.
Secara sederhana, logika adalah cabang filsafat yang mempelajari prinsip-prinsip penalaran yang sahih dan masuk akal. Logika membantu manusia membedakan antara benar dan salah secara rasional, bukan emosional.
Dalam kehidupan sehari-hari, logika berperan sebagai penuntun agar kita tidak terjebak dalam kekeliruan berpikir, informasi menyesatkan, atau keputusan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Namun, logika bukan sekadar alat berpikir formal. Ia juga menyangkut kemampuan untuk menyusun argumen secara konsisten, menghindari kontradiksi, dan menerima kenyataan meskipun tidak sesuai dengan keinginan pribadi. Logika adalah kekuatan nalar yang seharusnya menjadi pertahanan terakhir sebelum manusia terperosok ke dalam kekacauan pemikiran.
Logika sering sekali tak lagi jadi acuan pada berbagai lini kehidupan pertemanan pribadi, media sosial, dan politik. Kita seringkali menyaksikan logika dikorbankan demi loyalitas, perasaan, atau kepentingan sesaat. Misalnya:
• Seseorang membela tokoh yang jelas-jelas terbukti bersalah, hanya karena sejak awal sudah didukung atau sudah cocok sejak lama.
• Seorang teman memaklumi tindakan salah temannya, dengan alasan “yang penting dia baik ke gue.”
• Masyarakat mengamini informasi hoaks karena disebarkan oleh figur yang mereka idolakan.
Dalam semua contoh tersebut, logika digantikan oleh fanatisme, sentimen pribadi, dan selektif dalam kebenaran. Kebenaran menjadi relatif, dan kebenaran objektif tergeser oleh pembenaran subjektif. Ini bukan hanya berbahaya secara individual, tetapi mengancam tatanan sosial secara luas.
Apakah Indonesia benar-benar dalam kondisi darurat logika?
Indikatornya tampak jelas. Banyak diskursus publik yang dibangun tanpa nalar sehat. Kebijakan diperdebatkan bukan berdasarkan data dan analisis, melainkan berdasarkan siapa yang menyuarakan. Di ruang digital, ujaran kebencian dan konspirasi lebih cepat viral daripada edukasi dan klarifikasi.
Logika publik dikacaukan oleh echo chamber, confirmation bias, dan post-trut semua itu adalah tanda krisis logika yang nyata.
Tak heran bila generasi muda pun semakin sulit membedakan mana opini, mana fakta; mana kritik konstruktif, mana sekadar nyinyir. Kegagalan pendidikan kritis di berbagai level turut memperparah situasi ini.
Untuk itu, Indonesia membutuhkan pemulihan budaya logis, yang dimulai dari hal-hal kecil seperti:
• Mengedukasi anak muda tentang pentingnya berpikir kritis dan tidak menelan mentah-mentah informasi.
• Membiasakan diri untuk bertanya “mengapa” dan “bagaimana” sebelum mengambil sikap.
• Menghargai perbedaan pendapat yang disampaikan dengan dasar logis, bukan sekadar emosional.
• Memisahkan antara loyalitas dan kebenaran, karena tidak semua yang kita dukung selalu benar.
Logika bukan berarti kaku atau tidak berperasaan. Justru logika membantu kita menjaga akal sehat di tengah kompleksitas dunia modern. Di tengah derasnya informasi dan polarisasi sosial, logika adalah jangkar yang akan menyelamatkan kita dari gelombang kebingungan.
Jika tidak ada perbaikan atau kondisi ini dibiarkan, bangsa ini akan terus berjalan dalam kabut kebodohan kolektif yang merusak nalar publik. Saatnya kita kembali menjadikan logika sebagai bagian utama dalam cara kita hidup, berkomunikasi, dan membangun negeri ini.(Red)