Views: 57
JAKARTA, JAPOS.CO – Seorang warga negara Indonesia sekaligus pemerhati hukum tata negara, Tomu Augustinus, melayangkan surat terbuka kepada Perdana Menteri Belanda, Dick Schoof, dan Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Marc Gerritsen. Surat tersebut berisi permohonan agar Pemerintah Kerajaan Belanda mencabut seluruh produk hukum warisan kolonial yang hingga kini masih digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
Dalam surat resminya, Tomu menyebut bahwa penggunaan hukum peninggalan Pemerintah Hindia Belanda, seperti Wetboek van Strafrecht (KUHP), Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), dan Wetboek van Koophandel (KUHD), telah menjadi dasar penindasan terhadap rakyat Indonesia pascakemerdekaan.
“Penggunaan hukum warisan Pemerintah Kerajaan Belanda yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menjerat dan menghukum rakyat selama 79 tahun adalah sebuah perbuatan yang tidak benar dan tidak terpuji,” tulis Tomu dalam suratnya, yang juga diterima redaksi media.
Tomu menilai, selama hampir delapan dekade sejak kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, hukum yang digunakan pemerintah lebih mencerminkan sistem kolonial ketimbang nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Ia menganggap ini sebagai bentuk ketidakselarasan antara hukum positif yang digunakan negara dengan ideologi bangsa.
Dalam surat tersebut, ia juga menyampaikan sejumlah contoh kasus yang menurutnya mencerminkan ketidakadilan akibat penerapan hukum warisan kolonial, antara lain:
-Kasus Nenek Minah (2009) yang dihukum karena mencuri tiga buah kakao.
-Nenek Asiani (2015) yang didakwa mencuri kayu bakar dan dijatuhi hukuman percobaan serta denda ratusan juta rupiah.
-Penangkapan aktivis seperti Ravio Patra, Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dan tokoh-tokoh lainnya yang kritis terhadap pemerintah.
Tomu bahkan menuding pemerintah saat ini melindungi sejumlah kepentingan politik dan elite penguasa dengan bersandar pada hukum kolonial yang “telah kedaluwarsa di negara asalnya sendiri”.
Plagiat Hukum dan Desakan Sanksi
Yang menarik perhatian adalah tudingan Tomu bahwa Pemerintah Indonesia melakukan plagiat hukum terhadap Belanda, karena masih menggunakan sistem hukum yang menurutnya sudah tidak berlaku di negeri asalnya.
“Pemerintah Republik Indonesia melarang rakyatnya melakukan plagiat, tapi pemerintah justru menggunakan hukum warisan Belanda tanpa perubahan berarti,” tulisnya.
Tomu pun mendesak Pemerintah Kerajaan Belanda untuk mengambil langkah hukum, bahkan mempertimbangkan pelaporan atau tuntutan terhadap Pemerintah Indonesia atas penyalahgunaan hukum yang diklaim sebagai “hak cipta Belanda”. Menurutnya, Belanda memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk meluruskan praktik hukum yang kini menyengsarakan rakyat Indonesia.
Kekhawatiran atas Masa Depan NKRI
Dalam akhir suratnya, Tomu memberikan peringatan serius bahwa jika sistem hukum Indonesia tidak segera diperbaiki agar sepenuhnya berpijak pada Pancasila dan UUD 1945, maka masa depan negara dapat terancam.
“Tidak tertutup kemungkinan Negara Kesatuan Republik Indonesia bubar pada tahun 2030 jika pemerintah tetap menggunakan hukum yang bertentangan dengan budaya dan peradaban bangsa sendiri,” ujarnya.
Ia juga menyinggung upaya pemerintah Indonesia saat ini yang tengah meninjau kembali narasi sejarah kolonial, termasuk kebenaran soal masa penjajahan VOC. Hal ini menurutnya menjadi momen yang tepat bagi Belanda untuk mengoreksi atau mengklarifikasi sejarah kolonialisme.
Tomu menutup suratnya dengan ajakan kepada Pemerintah Belanda untuk bersama menyelamatkan hubungan dua bangsa dari warisan kolonialisme yang masih membekas.
“Tindakan ini penting untuk menyelamatkan martabat Pemerintah Kerajaan Belanda di mata rakyat Indonesia,” ucapnya.
Tomu juga memperkenalkan dirinya sebagai Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3-I), sebuah organisasi non-pemerintah yang aktif dalam advokasi kebijakan publik dan tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun. ***