BeritaHEADLINESumatera Utara

Selamatkan Kawasan Hutan Tele dari Kehancuran: Krisis Ekologis dan Perlawanan Masyarakat Adat di Tanah Batak

×

Selamatkan Kawasan Hutan Tele dari Kehancuran: Krisis Ekologis dan Perlawanan Masyarakat Adat di Tanah Batak

Sebarkan artikel ini
Salah satu lokasi pembalakan liar yang terjadi di Hutan Tele Kabupaten Samosir.

Views: 272

SAMOSIR, JAPOS.CO – Kawasan Hutan Tele, yang juga dikenal sebagai Tombak Raja, kini berada di ambang kehancuran ekologis. Di balik keindahan panoramik Danau Toba, menyimpan krisis yang terpendam dan terus menggerus nilai-nilai ekologis, sosial, dan budaya masyarakat adat Batak. Tulisan ini mengupas secara kritis dan mendalam tentang situasi genting yang terjadi di kawasan ini akibat eksploitasi tak terkendali oleh oknum perorangan, kelompok, maupun perusahaan, serta lemahnya tata kelola pemerintah.

Selama dua dekade terakhir, kawasan Hutan Tele telah mengalami deforestasi besar-besaran. Ribuan hektar tutupan hutan, baik di hutan lindung maupun di Areal Penggunaan Lain (APL), lenyap akibat praktik pembalakan liar dan konversi lahan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek. Aktivitas ini tidak hanya memusnahkan flora dan fauna endemik, tetapi juga mengganggu keseimbangan iklim mikro di kawasan Danau Toba.

Dampaknya nyata: debit air sungai menurun drastis, banjir bandang dan longsor kerap melanda desa-desa di sekitar wilayah ini. Catatan bencana dari tahun 2011 hingga 2025 menunjukkan tren berulang yang tak terbendung. Kondisi ini memperkuat fakta bahwa perusakan hutan memiliki implikasi serius terhadap keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat.

Konflik agraria di kawasan Tombak Raja Tele menciptakan polarisasi di tengah masyarakat adat Batak. Penolakan terhadap aktivitas penebangan kayu dan perampasan tanah ulayat justru dibalas dengan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan tanah leluhur mereka. Warga menghadapi intimidasi, kriminalisasi, hingga kekerasan verbal maupun fisik, mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Hilangnya sumber daya alam yang selama ini menopang hidup masyarakat – seperti rotan, kemenyan, dan keanekaragaman hayati lainnya – juga menyebabkan krisis penghidupan. Tradisi yang berakar pada keharmonisan dengan alam kini tercerabut. Generasi muda kehilangan koneksi dengan tanah warisan budaya mereka sendiri.

Ketiadaan regulasi daerah yang mengatur secara spesifik tata kelola Tombak Raja dan APL Tele telah menjadi akar dari krisis ini. Pemerintah daerah belum hadir secara tegas dan konsisten dalam menyusun kebijakan berbasis keadilan ekologis dan ekonomi kerakyatan. Pengelolaan lahan yang semrawut, tanpa rujukan hukum yang kuat, hanya menguntungkan kelompok elite ekonomi dan mengorbankan rakyat kecil.

Tanpa adanya peraturan daerah yang tegas dan berpihak kepada masyarakat adat, kawasan ini akan terus dikuasai oleh investor besar, sementara masyarakat lokal tetap terpinggirkan. Sejarah mencatat bahwa sejak Orde Baru hingga Reformasi, izin-izin yang diberikan kepada korporasi besar kerap ditolak warga karena bertentangan dengan semangat kearifan lokal dan kelestarian alam.

Agenda Strategis Penyelamatan Kawasan Tele

  1. Reforma Agraria dan Kepastian Hukum

Pemerintah Kabupaten Samosir harus segera mendorong pelaksanaan reforma agraria yang inklusif. Redistribusi lahan yang adil, transparan, dan akuntabel perlu diprioritaskan untuk petani gurem dan masyarakat yang tidak memiliki lahan. Kepastian hukum atas kepemilikan tanah di Tombak Raja akan menjadi fondasi untuk menghindari konflik, mengurangi kemiskinan, dan mendorong keadilan agraria yang sesungguhnya.

  1. Pengembangan Kawasan Pertanian Terpadu (KPT) Tele

Konsep KPT bukan sekadar pertanian biasa, tetapi pengembangan wilayah secara holistik dan berkelanjutan. Pemkab Samosir wajib memastikan bahwa lahan yang digunakan adalah legal dan bebas dari konflik, serta petani yang terlibat benar-benar berasal dari komunitas lokal. KPT dapat menjadi motor penggerak agrowisata dan agroforestri, dengan memadukan pertanian, konservasi, dan industri pengolahan hasil pertanian.

  1. Restorasi Ekologis Kawasan Tombak Raja Tele

Pemulihan kawasan hutan harus menjadi agenda utama. Usulan menjadikan Tombak Raja sebagai kawasan Cagar Alam melalui kerja sama dengan BRIN dan Kementerian Kehutanan adalah langkah strategis. Perlindungan ini akan mengembalikan fungsi ekologis kawasan dan mencegah eksploitasi lebih lanjut.

Selain itu, sebagian wilayah APL yang masih memiliki tutupan hutan perawan (virgin forest) dapat dikembangkan menjadi Taman Wisata Alam dan Kebun Raya (Botanical Garden). Pendekatan ini memungkinkan konservasi berdampingan dengan pendidikan lingkungan dan pariwisata hijau yang ramah masyarakat.

  1. Peraturan Daerah: Landasan Tata Kelola Adil dan Berkelanjutan

Ketiadaan perda sebagai dasar hukum tata kelola lahan adalah celah besar yang memungkinkan manipulasi dan penguasaan lahan secara ilegal. Pemerintah daerah harus menyusun perda yang secara eksplisit mengakui hak ulayat masyarakat adat dan membagi peran pengelolaan antara komunitas adat dan pemerintah. Pendekatan ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik dan menghindari ketimpangan struktural.

  1. Kebijakan Berbasis ESG dan Prinsip FPIC

Penerapan prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) serta Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) harus menjadi prasyarat dalam setiap rencana investasi di kawasan Tele. ESG menekankan bahwa pembangunan harus mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan sosial, sementara FPIC menjamin bahwa masyarakat adat diberi hak penuh untuk memberikan persetujuan atas proyek yang memengaruhi mereka, tanpa tekanan dan dengan informasi yang lengkap.

Kawasan Tele bukanlah tanah kosong yang bisa dikuasai dan dieksploitasi seenaknya. Ia adalah tanah leluhur dengan warisan sejarah, ekologi, dan budaya yang tak ternilai. Segala upaya penyelamatan harus berpijak pada penghormatan terhadap masyarakat adat, perlindungan lingkungan, dan keberlanjutan ekonomi lokal.

Kini adalah waktunya bagi semua pihak – pemerintah, masyarakat, dan komunitas sipil – untuk bersatu menyelamatkan Tombak Raja dari kehancuran total. Jika tidak, kita tidak hanya kehilangan hutan, tetapi juga kehilangan identitas, sejarah, dan masa depan Tano Batak itu sendiri.

Langkah Strategis Selamatkan Hutan Tele, Paru-Paru Danau Toba

Hutan Tele, yang dikenal sebagai salah satu benteng terakhir kelestarian ekosistem Danau Toba, kini berada di persimpangan jalan. Untuk menyelamatkannya, diperlukan langkah-langkah holistik, terencana, dan berkelanjutan yang melibatkan semua pemangku kepentingan, terutama masyarakat adat yang selama ini menjadi penjaga kearifan lokal dan alam.

Pelestarian Hutan Tele tak bisa hanya mengandalkan kebijakan sepihak. Diperlukan keterlibatan aktif masyarakat adat sebagai subjek utama dalam setiap perencanaan, pengelolaan, dan pengambilan keputusan terkait sumber daya alam. Mereka bukan hanya bagian dari ekosistem, tapi juga penjaga identitas budaya dan kelestarian kawasan tersebut.

Pemerintah Kabupaten Samosir diharapkan tidak hanya hadir secara simbolik, tetapi juga berpihak nyata kepada rakyat. Hal ini dapat diwujudkan melalui penerbitan dasar hukum yang kuat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur peruntukan tanah secara tegas. Perda tersebut harus mampu menjawab tantangan tumpang tindih lahan, konflik kepentingan, dan mengamankan hak ulayat masyarakat adat.

Kawasan Tele, yang merupakan bagian dari Areal Penggunaan Lain (APL), memegang peran vital sebagai paru-paru dunia dan penyangga ekosistem Danau Toba. Oleh karena itu, penataan tata kelola tanah yang adil dan berkelanjutan bukan hanya menjadi kebutuhan, tetapi sebuah keharusan. Ini adalah langkah strategis untuk menjaga keberlangsungan hidup ekologis dan ekonomi masyarakat Samosir di masa depan.

Evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan perizinan kepada perusahaan maupun kelompok masyarakat juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hanya dengan begitu, keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat lokal bisa berjalan beriringan.

Kini saatnya Samosir menunjukkan kepemimpinan yang visioner: melindungi Hutan Tele bukan hanya demi hari ini, tapi juga demi generasi yang akan datang.***

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *