BeritaHEADLINESumatera Utara

Pulau Samosir di Ambang Krisis Ekologis: Antara Degradasi Lingkungan, Pembiaran Pemerintah, dan Harapan yang Terluka

×

Pulau Samosir di Ambang Krisis Ekologis: Antara Degradasi Lingkungan, Pembiaran Pemerintah, dan Harapan yang Terluka

Sebarkan artikel ini
Salah satu hutan di Kabupaten Samossir.

Views: 53

SAMOSIR, JAPOS.CO – Pulau Samosir, permata geografis yang terletak di tengah Danau Toba, tengah menghadapi krisis ekologis yang kian memburuk. Pulau ini, yang selama ini dikenal karena keindahan alam dan kearifan lokal masyarakat Batak, kini berada dalam ancaman serius akibat eksploitasi sumber daya alam, pembiaran struktural oleh pemerintah, dan lemahnya implementasi kebijakan konservasi.

Meski telah dilakukan perubahan status kawasan dari Hutan Produksi menjadi Hutan Lindung, khususnya di kawasan eks PT Indo Rayon Utama (PT IIU) di Kecamatan Palipi, Ronggurnihuta, dan Simanindo, dampaknya belum menyentuh akar masalah. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini tampak seperti formalitas administratif tanpa kehadiran nyata di lapangan.

Pada tahun 1984, berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), sekitar 86.000 hektare kawasan hutan di Pulau Samosir ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT). Kawasan ini kemudian diberikan hak pemanfaatan kepada PT IIU untuk penanaman pinus merkusii. Namun, dari total izin yang diberikan, hanya sekitar 2.509 hektare yang sempat dimanfaatkan selama periode 1989 hingga 1999. Izin ini berakhir pada 2003, tetapi jejak kerusakan lingkungan yang ditinggalkan masih terus terasa hingga kini.

Perubahan status menjadi Hutan Lindung melalui SK.44/Menhut-II/2005 dan kemudian diperkuat dengan SK.579/Menhut-II/2014 memang secara hukum memberikan proteksi tambahan terhadap kawasan ini. Namun, dalam praktiknya, kawasan tersebut tetap rentan terhadap perambahan liar, minim pengawasan, dan abai dari perencanaan tata kelola yang berbasis masyarakat.

Perubahan status kawasan hutan belum mampu membendung arus kerusakan ekologis yang terjadi. Pulau Samosir kini menghadapi berbagai ancaman serius yang saling berkaitan dan memperparah kondisi lingkungan:

1.Pembalakan Liar Masif

Aktivitas ilegal terus berlangsung tanpa kendali. Oknum-oknum tertentu memanfaatkan lemahnya pengawasan untuk menebang pohon secara ilegal. Hutan primer yang seharusnya menjadi penopang keseimbangan ekologis kini rusak parah. Keberadaan flora dan fauna endemik kian terancam.

2.Fragmentasi dan Degradasi Ekosistem

Fragmentasi hutan menciptakan “pulau-pulau kecil” ekosistem yang terpisah dan tidak lagi mampu menjalankan fungsi ekologisnya secara utuh. Konektivitas habitat satwa liar terganggu, dan banyak spesies kini kehilangan tempat hidupnya.

3.Erosi dan Kerusakan Tanah

Penebangan tanpa kontrol mempercepat laju erosi. Tanah longsor menjadi ancaman nyata, terutama di musim hujan. Kondisi ini turut memperburuk kualitas air Danau Toba yang menjadi sumber kehidupan utama masyarakat sekitar.

4.Minimnya Regulasi Teknis dan Tata Kelola

Tidak adanya petunjuk teknis yang terperinci dalam pengelolaan eks PT IIU dan kawasan hutan lindung menyebabkan ketidakteraturan dalam pengelolaan lahan. Akibatnya, kebijakan konservasi hanya berhenti di tataran dokumen.

5.Absenya Pemerintah Daerah

Ketidakhadiran aktif Pemerintah Provinsi Sumatera Utara maupun Pemerintah Kabupaten Samosir menunjukkan kegagalan struktural dalam menjalankan fungsi perlindungan lingkungan. Krisis ini bukan semata soal teknis, melainkan cermin dari ketidakseriusan birokrasi dalam mengelola warisan ekologis untuk generasi mendatang.

Di Mana Letak Keadilan Ekologis Bagi Masyarakat?

Masyarakat lokal di Samosir tidak hanya menjadi korban, tetapi juga saksi dari proses degradasi lingkungan yang sistematis. Mereka menyaksikan hutan-hutan adat yang dulu lebat, kini gersang dan berubah menjadi lahan terbuka tanpa manfaat jangka panjang. Tidak adanya pengakuan hukum terhadap hutan adat menempatkan masyarakat dalam posisi rentan—baik secara ekologis maupun sosial.

Padahal, komunitas adat memiliki sistem pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal yang telah terbukti menjaga keseimbangan lingkungan selama berabad-abad. Sayangnya, hingga kini belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk memberikan legalitas terhadap hutan adat di Samosir.

Menghadapi kompleksitas krisis ini, diperlukan pendekatan multi-dimensi yang tidak hanya reaktif, tetapi proaktif dan berpihak pada keberlanjutan:

  1. Reboisasi harus dilakukan dengan pendekatan ekosistem, bukan sekadar penanaman massal tanpa perencanaan. Restorasi ekologis perlu mempertimbangkan jenis tanaman endemik, kebutuhan satwa liar, dan melibatkan masyarakat lokal dalam seluruh prosesnya.
  2. Pemerintah wajib segera menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mengakui keberadaan dan hak kelola masyarakat adat terhadap hutan mereka. Tanpa ini, upaya konservasi akan terus berbenturan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek.
  3. Semua pelaku perusakan hutan harus ditindak tegas, termasuk oknum aparat yang bermain dalam jaringan eksploitasi sumber daya alam. Hukum harus hadir sebagai alat keadilan ekologis, bukan sekadar alat kontrol administratif.
  4. Perencanaan tata kelola kawasan hutan harus dilakukan secara transparan dan inklusif. Masyarakat, LSM, akademisi, dan media harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Pulau Samosir saat ini berada dalam persimpangan sejarah. Apakah ia akan diselamatkan sebagai warisan ekologis untuk masa depan, atau dibiarkan rusak oleh keserakahan dan pembiaran?

Ketidakhadiran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Samosir dalam pengelolaan kawasan eks PT IIU dan hutan lindung bukanlah sekadar kelalaian. Ini adalah bentuk kegagalan moral dan struktural dalam menunaikan mandat konstitusional untuk melindungi lingkungan hidup bagi kemakmuran rakyat.

Sudah saatnya pemerintah berhenti bersikap pasif dan melakukan tindakan nyata. Krisis ekologis ini adalah alarm keras—jika tidak ditangani segera, bukan hanya Pulau Samosir yang akan menderita, tetapi seluruh ekosistem Danau Toba akan menuju kehancuran.***

Oleh :  Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *