BeritaHEADLINESumatera Utara

Hadirkah Pemerintah Kabupaten Samosir di Kawasan APL Tele?

×

Hadirkah Pemerintah Kabupaten Samosir di Kawasan APL Tele?

Sebarkan artikel ini
Hutan Tele di Kabupaten Samosir dirambah habis orang yang tidak bertanggung jawab.

Views: 126

SAMOSIR, JAPOS.CO – Dalam semangat amanat Konstitusi UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3), yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, seharusnya kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) di wilayah Kabupaten Samosir dikelola dengan visi yang adil, lestari, dan berpihak pada masyarakat. Namun, realitas yang tampak di lapangan, khususnya di kawasan APL Tele, justru menunjukkan arah yang sebaliknya—yakni lemahnya tata kelola dan ketidakhadiran nyata Pemerintah Kabupaten Samosir dalam pengawasan maupun penataan kawasan tersebut.

Dalam satu dekade terakhir, kawasan APL Tele mengalami degradasi tutupan lahan secara drastis akibat penggarapan liar, aktivitas perambahan, serta minimnya kontrol dari otoritas daerah. Pemerintah Kabupaten Samosir yang telah berdiri selama 21 tahun justru belum menelurkan regulasi yang menyeluruh terkait pengelolaan kawasan APL ini. Ketiadaan inisiatif kebijakan terencana dan pembiaran aktivitas ilegal memunculkan dugaan bahwa pemerintah daerah belum hadir secara utuh dalam menjalankan mandat konstitusionalnya.

Mahkamah Agung pernah menjatuhkan hukuman pidana tiga tahun penjara dan denda Rp5 miliar kepada sebuah perusahaan yang merusak lingkungan di kawasan APL pada tahun 2017. Namun, publik bertanya-tanya: apakah kewajiban pemulihan lingkungan benar-benar dilaksanakan? Hingga hari ini, belum ada transparansi terhadap proses tersebut. Fakta ini memperlihatkan lemahnya penegakan hukum dan nihilnya pengawasan tindak lanjut terhadap pelanggaran serius lingkungan hidup.

Ironisnya, kebijakan seperti SK Bupati Tobasa No. 281 Tahun 2003 justru memantik konflik hukum dan sosial, menyeret warga serta pejabat ke ranah peradilan. Ini menjadi bukti bahwa pengelolaan APL tanpa dasar regulasi yang kuat hanya akan memunculkan kekacauan administratif dan konflik agraria.

APL Tele bukan sekadar tanah kosong. Kawasan ini adalah wilayah strategis yang mencakup ±4.500 ha hutan alami, sumber air penting, dan berada dalam bentang alam Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TCUGGp). Fungsinya krusial, tidak hanya bagi ekosistem lokal tapi juga kelangsungan hidup masyarakat Danau Toba secara keseluruhan.

Sayangnya, potensi ekologis, ekonomi, dan budaya di kawasan ini justru tergadaikan oleh tumpang tindih izin pemanfaatan lahan dari berbagai pihak swasta. Bahkan sebagian perizinan diduga hanya menjadi kedok eksploitasi kayu alam, tanpa ada pertanggungjawaban lingkungan jangka panjang.

Di dalam kawasan ini, terdapat pula tanah ulayat komunitas marga Situmorang dan Sinaga yang memiliki akar penguasaan historis. Sayangnya, hak adat ini belum mendapat pengakuan resmi, sehingga rawan terpinggirkan oleh kepentingan investasi. Ketika hak masyarakat adat diabaikan, bukan hanya konflik sosial yang timbul, tapi juga erosi terhadap nilai-nilai budaya Dalihan Na Tolu yang menjadi pilar identitas Batak.

Berbagai gejala menunjukkan ketidakhadiran Pemerintah Kabupaten Samosir dalam mengelola kawasan APL Tele:

  • Tidak adanya regulasi tata kelola APL secara menyeluruh
  • Minimnya pengawasan dan pengendalian terhadap eksploitasi lahan
  • Dominasi kepentingan investor atas perlindungan lingkungan dan hak adat
  • Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian izin lahan
  • Lemahnya respons terhadap aspirasi masyarakat sipil dan komunitas adat

Dalam konteks inilah, pertanyaan kritis muncul: Apakah Pemerintah Kabupaten Samosir benar-benar hadir untuk masyarakat dan lingkungannya? Atau justru lebih memilih absen demi kenyamanan politik dan ekonomi jangka pendek?

Untuk menjawab krisis ini, sejumlah langkah strategis harus segera diambil:

1.Penerbitan Perda Tata Kelola APL Tele, termasuk zonasi budidaya, konservasi, dan ruang adat.

2.Restorasi ekologis melalui pendirian Kebun Raya Tele Samosir, sebagai benteng terakhir biodiversitas asli Toba.

3.Legalitas dan perlindungan tanah ulayat, melalui pengakuan hutan adat berbasis partisipasi komunitas.

4.Penegakan hukum tegas terhadap pelaku perusakan lingkungan, termasuk aparatur yang menyalahgunakan kewenangan.

Ketidakhadiran Pemerintah Kabupaten Samosir dalam pengelolaan APL Tele bukan hanya soal kelalaian birokrasi, tetapi merupakan kegagalan struktural dalam menunaikan mandat konstitusi untuk melindungi sumber daya alam demi kemakmuran rakyat.

Sudah waktunya Pemkab Samosir berhenti bersikap pasif. Diperlukan keberanian politik dan visi ekologis untuk menyelamatkan kawasan ini. Menjadikan APL Tele sebagai Kebun Raya Tele Samosir bukan hanya simbol restorasi, tetapi juga komitmen nyata menuju tata kelola lahan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berbasis masyarakat.***

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si ( Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *