Views: 174
SAMOSIR, JAPOS.CO — Jika sejarah mengajarkan sesuatu, maka bencana lingkungan akibat kebijakan keliru bukanlah sekadar narasi masa lalu, melainkan peringatan yang terus relevan. Salah satu tragedi besar yang patut menjadi pelajaran adalah kampanye “Pemusnahan Empat Hama” (Four Pests Campaign) yang diluncurkan oleh Mao Zedong di akhir 1950-an. Upaya memberantas burung gereja yang dianggap pengganggu panen, justru memicu ledakan populasi serangga perusak tanaman dan mengakibatkan Kelaparan Besar di Tiongkok, yang menewaskan puluhan juta jiwa. Kegagalan tersebut terjadi karena pengabaian terhadap prinsip-prinsip dasar ekologi dan ilmu pengetahuan.
Pelajaran sejarah ini menjadi refleksi penting untuk kita yang hidup di Kawasan Danau Toba dan khususnya di Kabupaten Samosir. Kerusakan lingkungan yang terjadi hari ini menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan: pembalakan liar yang marak, pembakaran lahan yang hampir menjadi rutinitas, industri perikanan yang mencemari perairan, hingga ekspansi pertanian monokultur berbasis kimia yang merusak kesuburan tanah. Semua ini, jika tidak ditangani dengan serius, bisa menjadi bom waktu ekologis yang dampaknya jauh melampaui generasi sekarang.
Wajah Krisis Ekologis Samosir Hari Ini
Kondisi nyata yang terjadi di lapangan mengonfirmasi kekhawatiran ini:
-
Pembalakan liar semakin merajalela, terutama di kawasan hutan alam di Kecamatan Simanindo, Ronggur Nihuta, Palipi, dan wilayah lainnya. Fenomena ini bukan sekadar perusakan alam, tapi juga memicu konflik antara manusia dan satwa liar. Monyet yang kehilangan habitatnya kini sering turun ke jalan raya dan ladang warga, menciptakan situasi yang membahayakan manusia dan satwa sekaligus.
-
Kebakaran hutan dan lahan terjadi secara masif, sering kali diduga disengaja untuk membuka lahan pertanian. Namun, praktik ini telah memperburuk kualitas udara, memicu erosi tanah, dan mengancam keanekaragaman hayati kawasan Danau Toba.
-
Industri perikanan di danau yang menggunakan pakan berbahan kimia telah menimbulkan pencemaran berat, termasuk menyuburkan gulma air seperti enceng gondok yang mempersempit area tangkap nelayan dan menurunkan kualitas air danau secara drastis.
-
Pertanian intensif berbasis kimia—khususnya budidaya jagung monokultur—mengikis kesuburan tanah secara sistemik. Jika ini terus dibiarkan, masa depan pertanian rakyat Samosir terancam stagnasi bahkan kehancuran ekologis.
Sempadan Danau: Regulasi Ada, Tapi Implementasi Dipertanyakan
Padahal, regulasi terkait perlindungan Danau Toba sudah sangat jelas. Beberapa aturan penting yang mengatur kawasan sempadan danau antara lain:
-
Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba;
-
Permen PUPR No. 28 Tahun 2015 dan KPTS/M/2022 tentang penetapan garis sempadan danau;
-
Perda Sumut No. 1 Tahun 1990 dan Perda Samosir No. 3 Tahun 2018 tentang RTRW.
Garis sempadan minimal 50 meter dari titik pasang tertinggi harus dijaga sebagai zona lindung. Namun realitasnya, sempadan danau terus dirambah untuk pemukiman, usaha, hingga kegiatan komersial tanpa izin lingkungan yang sah. Aparat penegak hukum dan pemerintah daerah kerap terkesan tutup mata, atau paling banter, melakukan tindakan reaktif yang tak menyentuh akar persoalan.
Ancaman Jangka Panjang: Krisis Ekologi dan Kejatuhan Etika Lingkungan
Yang terjadi di Danau Toba hari ini bukan sekadar degradasi lingkungan, tapi krisis etika ekologis. Kita tidak hanya merusak tanah dan air, tapi juga sedang menghancurkan nilai-nilai penghormatan terhadap alam sebagai warisan leluhur. Tambahan bahan kimia dalam pangan, teknologi pertanian yang eksploitatif, serta pembiaran atas pencemaran menunjukkan kemerosotan spiritual dan moral manusia terhadap lingkungan.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kerusakan ekologis ini adalah bentuk keserakahan yang dilembagakan. Krisis ini tidak hanya akan dirasakan oleh generasi kita, tapi juga mewariskan bencana kepada anak cucu kita kelak.
Pertanyaan Kritis untuk Pemerintah Pusat dan Daerah
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar dan mendesak:
Apa strategi konkret Pemerintah Pusat, Pemprov Sumut, dan Pemkab Samosir dalam menyelamatkan ekosistem Danau Toba?
Apakah akan terus membiarkan eksploitasi berlangsung atas nama pembangunan, atau mulai berani membuat kebijakan restoratif dan preventif yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat lokal?
Sudah saatnya pemerintah menegakkan regulasi dengan ketegasan, memperkuat partisipasi masyarakat adat, dan mendorong pendekatan pembangunan berkelanjutan yang seimbang antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian ekosistem.
Kita masih punya pilihan—untuk menjadi generasi yang menyelamatkan atau yang membinasakan. Jika tidak segera bertindak, Danau Toba—yang selama ini menjadi ikon pariwisata dan identitas kultural Sumatera Utara—bisa berubah menjadi zona bencana ekologis yang tidak bisa dipulihkan lagi.
Mari kita belajar dari sejarah, berpihak pada ilmu pengetahuan dan nilai-nilai ekologis, dan mulai menyelamatkan Samosir dan Danau Toba hari ini, bukan nanti.***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si ( Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)