Views: 240
SAMOSIR, JAPOS.CO – Dalam upaya mengurai kontribusi riil antara pariwisata umum dan UNESCO Global Geopark terhadap perekonomian lokal, penting untuk melihat secara jernih dan kritis bagaimana dua pendekatan ini berperan dalam mendorong kesejahteraan masyarakat. Kajian ini menjadi penting khususnya bagi pengelola dan pelaku wisata di kawasan Danau Toba, yang saat ini tengah mempersiapkan diri untuk revalidasi status UNESCO Global Geopark (UGGp) pada Juli 2025.
- Dampak Pariwisata Umum: Pertumbuhan Cepat, Tapi Rapuh?
Dampak Positif:
- Pendapatan langsung bagi masyarakat: Aktivitas pariwisata membuka peluang ekonomi seperti homestay, kuliner, transportasi, dan kerajinan.
- Tumbuhnya UMKM: Wisata mendorong sektor informal berkembang dengan cepat.
- Penyerapan tenaga kerja: Meningkatkan kesempatan kerja, terutama bagi mereka yang sulit masuk ke sektor formal.
- Naiknya permintaan produk lokal: Wisatawan menjadi konsumen utama bagi hasil bumi, kerajinan, dan kuliner lokal.
Dampak Negatif:
- Ketimpangan ekonomi: Pendapatan cenderung terkonsentrasi pada pelaku besar, sementara masyarakat lokal hanya menjadi pelengkap.
- Ketergantungan berlebihan: Ekonomi lokal menjadi sangat rentan terhadap gangguan eksternal seperti pandemi.
- Musiman dan tidak berkelanjutan: Tingkat pendapatan fluktuatif sesuai musim kunjungan, tanpa ada stabilitas jangka panjang.
- Dampak UNESCO Global Geopark: Pembangunan dengan Arah dan Tujuan?
Dampak Positif:
- Wisata berbasis edukasi dan konservasi: Wisatawan tidak hanya datang untuk bersantai, tapi juga belajar dan menghargai lingkungan serta budaya lokal.
- Usaha berbasis nilai tambah: Ekowisata dan pelestarian budaya membuka lapangan kerja baru yang lebih lestari.
- Pemberdayaan terstruktur: Program pelatihan menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama, bukan hanya penerima mnfaat.
Akses ke jejaring global: Status UNESCO membuka peluang dana, promosi internasional, dan kemitraan strategis.
Dampak Negatif:
- Investasi awal yang tinggi: Masyarakat memerlukan pendampingan intensif untuk menyesuaikan diri dengan standar global.
- Birokrasi dan regulasi ketat: Tanpa dukungan pemerintah, aturan konservasi bisa jadi penghambat.
- Konflik konservasi vs tradisi: Tindakan pelestarian terkadang bertentangan dengan praktik ekonomi tradisional masyarakat.
- Komparasi Kritis: Antara Wisata Masal dan Geowisata Berkelanjutan
Aspek Pariwisata Umum UNESCO Global Geopark
Sifat ekonomi Konsumtif, langsung Edukatif, konservatif
Pola pengelolaan Bebas, informal Terstruktur, regulatif
Jenis usaha Mikro & jasa wisata Ekowisata, budaya, edukasi
Ketahanan ekonomi Rentan dan musiman Stabil dan jangka panjang
Peran masyarakat Kurang terorganisir Terstruktur dan aktif
Akses pendanaan Terbatas, lokal Terbuka, internasional
- Transformasi Usaha Masyarakat: Studi Kasus Homestay Geosite
Sebelum Geopark:
- Pengelolaan seadanya, tanpa nilai edukatif.
- Wisatawan hanya rekreasi, tanpa pengalaman mendalam.
- Pendapatan tidak stabil dan minim.
Setelah Geopark:
- Homestay ramah lingkungan dan edukatif.
- Pemilik dilatih memberikan interpretasi budaya dan geologi.
- Terintegrasi dalam paket wisata tematik.
- Pendapatan naik hingga 40%.
- Budaya dan lingkungan lokal mulai dihargai dan dilestarikan.
- Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Geopark
1. Peningkatan Kapasitas Masyarakat:
-Pelatihan intensif pemandu geowisata, kerajinan, dan pengelolaan homestay.
-Pembentukan kelompok usaha berbasis budaya dan geologi.
2.Pengembangan Produk Wisata Edukatif:
-Paket geowisata, workshop kerajinan, pertunjukan budaya.
-Pembangunan pusat interpretasi sebagai ikon geopark.
3.Infrastruktur Ramah Lingkungan:
-Transportasi bersih, pengelolaan sampah, fasilitas sanitasi hijau.
4.Branding dan Pemasaran Digital:
-“Produk Geopark” sebagai label kualitas.
-Optimalisasi media sosial dan e-commerce.
5.Kemitraan Strategis:
-Kolaborasi pemerintah, LSM, akademisi, pelaku usaha.
-Skema bagi hasil yang adil untuk masyarakat.
Menjelang revalidasi Geopark Kaldera Toba oleh UNESCO pada Juli 2025, pertanyaan kuncinya adalah: Sudahkah para pengelola mampu menunjukkan dampak nyata, terukur, dan transparan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat lokal di sekitar 16 geosite?
Paparan di atas menyajikan indikator kualitatif yang menjanjikan, namun tantangan terbesar adalah mengubah narasi menjadi data. Tanpa bukti kuantitatif yang kuat—baik dari aspek pendapatan, peningkatan kapasitas, maupun indeks kesejahteraan lokal—status geopark bisa menjadi sekadar simbol, bukan alat transformasi ekonomi yang sesungguhnya.
Saatnya Geopark Kaldera Toba tidak hanya menjadi cerita keberhasilan branding, tetapi juga wujud konkret dari keadilan ekonomi, konservasi yang inklusif, dan pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada masyarakat lokal.***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)