Views: 193
SAMOSIR, JAYA POS – Menjelang proses revalidasi pada Juli 2025, Geopark Kaldera Toba tengah berada di persimpangan jalan yang menentukan masa depannya. Status “kartu kuning” dari UNESCO Global Geopark (UGGp) menjadi peringatan serius bahwa pengelolaan kawasan ini masih belum memenuhi standar yang diharapkan. Kini, fokus utama tertuju pada enam aspek penilaian UNESCO—dan salah satu yang paling krusial adalah Strategi Konservasi dan Geokonservasi.
Aspek ini menuntut lebih dari sekadar pelestarian fisik geosite. Ia mencakup keberhasilan konkret dalam konservasi, kualitas pengelolaan situs warisan geologi, serta bagaimana nilai-nilai budaya, keanekaragaman hayati, dan sosial lokal terintegrasi secara harmonis dalam pengembangan kawasan geopark.
Dalam kerangka UNESCO, konservasi bukan hanya pelindungan benda atau lanskap, tetapi sebuah pendekatan holistik yang menggabungkan:
-
Pelindungan dan pengelolaan warisan geologi, budaya, dan biodiversitas secara berkelanjutan;
-
Pemberdayaan masyarakat lokal melalui edukasi, penelitian, dan ekonomi berbasis geowisata;
-
Pemanfaatan warisan secara bertanggung jawab demi mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Dengan demikian, strategi konservasi yang efektif harus partisipatif, berjangka panjang, dan menghasilkan dampak nyata bagi kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.
Meski telah diakui sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark sejak 2020, Geopark Kaldera Toba masih bergelut dengan berbagai ancaman serius:
1. Warisan Geologi
-
Aktivitas penambangan ilegal merusak integritas geosite.
-
Proyek infrastruktur yang abai terhadap studi geologi mengganggu formasi alami.
-
Rendahnya literasi geologi di masyarakat memicu eksploitasi situs secara sembarangan.
2. Warisan Ekologi
-
Deforestasi dan alih fungsi lahan mempersempit habitat asli.
-
Pencemaran Danau Toba menurunkan kualitas air secara drastis.
-
Flora dan fauna endemik terancam punah.
-
Dampak perubahan iklim lokal mempercepat kerusakan ekosistem.
3. Warisan Budaya
-
Komersialisasi budaya Batak mengikis makna otentik.
-
Generasi muda semakin menjauh dari akar tradisinya.
-
Situs sejarah mengalami degradasi akibat vandalisme dan minimnya perawatan.
-
Ketegangan lahan adat meningkat akibat pariwisata yang tak berpijak pada prinsip keberlanjutan.
Untuk merespons tantangan tersebut, berikut strategi konservasi dan geokonservasi berbasis standar UNESCO yang harus segera diimplementasikan:
-
Identifikasi dan Inventarisasi
-
Pemetaan menyeluruh situs geologi, budaya, dan ekologi penting.
-
Kolaborasi antara ahli dan masyarakat lokal sebagai bentuk inklusivitas data.
-
-
Penilaian Nilai Signifikansi
-
Menyusun prioritas berdasarkan nilai ilmiah, edukatif, sosial, dan estetika.
-
-
Penetapan dan Perlindungan Geosite
-
Zonasi konservasi yang ketat dan regulasi larangan eksploitasi kawasan sensitif.
-
-
Edukasi dan Kesadaran Publik
-
Kurikulum lokal dan pusat edukasi geopark untuk membentuk generasi penjaga warisan.
-
-
Pelibatan Masyarakat Lokal
-
Pelatihan dan pengembangan geowisata berbasis komunitas, menjadikan warga sebagai aktor utama konservasi.
-
-
Pengelolaan Berkelanjutan
-
Rencana pengelolaan jangka panjang berbasis data ilmiah dan SDGs.
-
-
Monitoring dan Evaluasi
-
Evaluasi berkala atas kondisi situs dan efektivitas program sebagai dasar kebijakan adaptif.
-
-
Kemitraan Strategis
-
Kolaborasi dengan universitas, LSM, pemerintah, dan mitra internasional untuk memperkuat kapasitas dan sumber daya.
-
Pasca penilaian negatif dan keluarnya status kartu kuning, kelembagaan Geopark Toba praktis vakum selama 1,5 tahun. Meski struktur baru telah terbentuk pada 24 Februari 2024 dan dikukuhkan pada 4 Februari 2025, waktu efektif kerja mereka hanya tersisa kurang dari enam bulan sebelum revalidasi.
Kondisi ini menjadi sorotan tajam publik dan para pemangku kepentingan, termasuk DPR RI, DPRD Sumut, serta kementerian/lembaga pusat yang mendorong percepatan perbaikan.
Dengan waktu yang sangat terbatas, muncul pertanyaan besar: Apakah strategi konservasi dan geokonservasi ini bisa dirancang dan diimplementasikan secara efektif dalam enam bulan ke depan?
Pertanyaan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi menyangkut:
-
Komitmen politik yang solid,
-
Kapasitas dan konsistensi kelembagaan,
-
Integritas pelaksanaan di lapangan,
-
Serta partisipasi aktif masyarakat.
Hanya melalui konsolidasi cepat, sinergi lintas sektor, dan kerja nyata di lapangan, Geopark Toba bisa mengembalikan kejayaannya. Lebih dari sekadar status “green card”, ini adalah perjuangan untuk memastikan bahwa warisan geologi, budaya, dan ekologi Danau Toba tetap hidup, lestari, dan bermakna bagi generasi mendatang. ***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adlaha Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)