Views: 185
BELITUNG, JAPOS.CO – Mantan Anggota DPRD Belitung, Johan Hanibal Palit, dengan tegas mendesak Bupati Belitung, H. Djoni Alamsyah Hidayat, S.Sos dan Wakil Bupati Syamsir, S.I.Kom untuk segera mencabut 27 Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan di Pulau Sekutai, Desa Petaling, Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung. Langkah ini dinilai sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum kepala daerah dalam melindungi hak rakyat dari dugaan praktik mafia tanah yang kian masif.
Johan menyatakan, langkah tegas harus segera diambil menyusul adanya pengaduan dari ahli waris almarhum Sa’il, yakni Darwin (pensiunan guru PNS) dan Jamil (pensiunan Disdukcapil), yang melaporkan bahwa tanah keluarga mereka seluas 344 hektar di Pulau Sekutai telah dikuasai dan diterbitkan SKT atas nama pihak lain. Mereka menyampaikan laporan resmi ke Kantor Pertanahan Belitung dan diterima langsung oleh Kasi Pengukuran, Harbi Maharani, ST.MSP.
“Pemkab Belitung harus segera membentuk tim gabungan lintas OPD—Inspektorat, Bappeda, BPKAD, BKSDM, PMPD, hingga Bagian Hukum—untuk menyelidiki dan mengusut tuntas praktik penerbitan SKT yang disinyalir cacat hukum dan penuh rekayasa. Jika terbukti ada pelanggaran, tidak ada pilihan lain: cabut SKT dan seret pelaku ke jalur hukum,” tegas Johan, Jumat (30/05).
Kasus ini semakin menguat setelah diketahui bahwa sebagian besar SKT diterbitkan oleh Kepala Desa Petaling, Asnawi, atas dasar klaim sejumlah warga Suku Bugis yang disebut pernah bermukim di Pulau Sekutai. Namun, bukti justru menunjukkan sebaliknya.
Enam warga Suku Bugis menyatakan dalam surat bermaterai bahwa mereka tidak pernah mengajukan atau mengetahui penerbitan SKT atas nama mereka, namun nama mereka muncul dalam dokumen SKT: SN (No. SKT 590/041/SKT/PTL/XII/2017) , SH (No. SKT 590/038/SKT/PTL/XII/2017), MR (No. SKT 590/040/SKT/PTL/XII/2017), ST (No. SKT 590/039/SKT/PTL/XII/2017), MM (No. SKT 590/027/SKT/PTL/XII/2017), AS (No. SKT 590/030/SKT/PTL/XII/2017)
Mereka bahkan mengaku hanya menerima uang sebesar Rp150.000 sebagai ganti rugi tanam tumbuh. Ini memperkuat dugaan bahwa SKT tersebut diterbitkan tanpa dasar hukum dan dilakukan dengan cara manipulatif.
Pulau Sekutai, meski tidak berpenghuni, memiliki nilai strategis karena dikelilingi Hutan Lindung Pantai (HLP), tanaman produktif seperti kuini dan kelapa, serta area APL. Tanah tersebut diketahui dibeli oleh almarhum Sa’il dari Jakoeb, Juru Tulis Kantor Kapitein Tionghoa, pada 1947, dan didukung oleh akta jual beli tahun 1953 yang diketahui Lurah Pangkalalang saat itu, Abusama.
Namun kini, tanah tersebut diduga telah dijual oleh pihak tak berhak kepada seorang pengusaha asal Medan, Moris, senilai miliaran rupiah. Moris mengaku memiliki SKT yang dikeluarkan oleh Desa Petaling, dan sedang memproses sertifikat ke Kantor Pertanahan sejak dua tahun lalu.
“Kalau ini dibiarkan, artinya negara kalah oleh mafia tanah. Rakyat pemilik sah justru ditindas oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka. Ini ironi,” kata Johan dengan nada tinggi.
Kasi Pengukuran Tanah Kantor Pertanahan Belitung, Harbi Maharani, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima laporan lengkap dari Darwin dan Jamil, yang disertai peta hasil pencermatan dari Dinas Kehutanan Provinsi Babel. Dalam peta tersebut, lokasi tanah ahli waris seluas 47 hektar berada di kawasan APL dan sebagian HLP.
“Laporan sudah kami masukkan ke sistem pengaduan resmi ATR/BPN. Kami minta pelapor melengkapi dengan dokumen kepemilikan dan riwayat tanah,” ujar Harbi.
Johan Hanibal Palit menambahkan bahwa Pemkab Belitung harus segera menggelar perkara bersama Kantor Pertanahan dan Kementerian ATR/BPN untuk mengevaluasi kewenangan Kades dan Camat dalam penerbitan SKT di atas tanah yang sudah dimiliki pihak lain.
“Jika ditemukan unsur pelanggaran hukum, Bupati harus berani mencabut 27 SKT tersebut. Ini soal keadilan dan martabat pemerintahan daerah. Jangan ada pembiaran atau kompromi terhadap pelaku pelanggaran hukum,” tegasnya.
Pulau Sekutai merupakan pulau kecil tak berpenduduk, kaya dengan ekosistem mangrove dan zona reef flat seluas 50 meter yang menjadi habitat berbagai spesies laut. Kawasan ini memiliki nilai ekologis dan ekonomis tinggi, yang jika tidak dijaga, bisa jatuh ke tangan pihak tak bertanggung jawab dengan dalih legalitas semu.
Kasus ini bukan sekadar soal tumpang tindih dokumen tanah. Ini adalah ujian bagi integritas kepala daerah, aparat hukum, dan lembaga pertanahan. Jika negara tidak hadir melindungi rakyat dari praktik-praktik mafia tanah, maka hukum hanya akan menjadi alat bagi yang kuat.
“Bupati punya tanggung jawab moral dan hukum. Rakyat menunggu keberanian beliau bertindak. Jika benar ada rekayasa dan perampasan tanah, maka SKT harus dicabut, pelaku diusut, dan hak rakyat dikembalikan,” pungkas Johan. (Yustami)