BeritaHEADLINESumatera Utara

Kepemimpinan Geopark Kaldera Toba 2012–2025: Antara Harapan, Kegagalan, dan Krisis Identitas

×

Kepemimpinan Geopark Kaldera Toba 2012–2025: Antara Harapan, Kegagalan, dan Krisis Identitas

Sebarkan artikel ini
Gedung Pusat Informasi Geopark Kaldera Toba di Sigulatti Sianjur Mulamula Kab. Samosir Prov. Sumatera Utara.

Views: 72

SAMOSIR, JAPOS.CO – Geopark Kaldera Toba lahir dari harapan besar: membangkitkan kembali kejayaan kawasan Danau Toba yang sempat bersinar pada era 1980-an namun kemudian redup akibat kerusakan lingkungan dan stagnasi sektor pariwisata. Penetapan Danau Toba sebagai kawasan super prioritas pembangunan nasional menyulut harapan baru. Namun, perjalanan panjang pengelolaan Geopark Kaldera Toba justru mempertontonkan betapa lemahnya konsistensi dan arah kepemimpinan dari 2012 hingga 2025.

Konsep geopark mulai diperkenalkan di Danau Toba sejak 2012, yang melahirkan Inspiring Geopark Kaldera Toba, dan akhirnya ditetapkan sebagai Geopark Nasional pada 2014. Kelembagaan pertama dikomandoi oleh birokrat Dr. Sabrina Dali Munthe. Namun, pada sidang UNESCO di Jepang tahun 2015, usulan kenaikan status menjadi UNESCO Global Geopark (UGGp) ditolak. Lima rekomendasi dikembalikan. Bukannya segera dibenahi, proses ini malah membuka babak panjang tarik-menarik kepentingan kelembagaan.

Gagal di tangan birokrasi, tongkat estafet berpindah ke Ir. Alimin Ginting, seorang profesional panas bumi, melalui Peraturan Gubernur No. 34 Tahun 2015. Namun, hasilnya tak lebih menggembirakan. Tanpa dukungan politik dan anggaran yang memadai, arah lembaga pun kehilangan daya dorong.

Menteri Pariwisata turun tangan, membentuk tim pusat di bawah pensiunan pejabat eselon satu, Waluyo. Namun, tim ini tidak pernah menyentuh akar permasalahan karena nyaris tak pernah turun ke lapangan. Barulah saat Brigjen (Purn) Nurhajizah Marpaung memimpin, ada lompatan signifikan—persiapan dokumen dan infrastruktur dipercepat. Kepemimpinan gaya militer terbukti lebih efektif, setidaknya untuk merespons rekomendasi UNESCO.

Di tengah stagnasi regional, Kabupaten Samosir justru tampil sebagai pionir. Di bawah kepemimpinan Bupati Drs. Rapidin Simbolon, pembangunan berbasis geopark diimplementasikan melalui pembentukan Badan Pengelola Geoarea dan penunjukan manajer teknis yang paham substansi. Namun, kontribusi ini tampaknya tidak diarusutamakan dalam struktur kelembagaan tingkat provinsi yang lebih banyak didominasi pendekatan administratif ketimbang partisipatif.

Setelah dua kali ditolak (2015 dan 2018), barulah pada 2020 Geopark Toba menyandang status resmi sebagai UNESCO Global Geopark. Namun, pencapaian ini datang bukan dari kinerja kelembagaan daerah, melainkan karena intervensi langsung dari Menteri Pariwisata saat itu, Arief Yahya, yang turun tangan hingga ke kantor pusat UNESCO di Paris.

Sayangnya, meski status TC UGGp diraih, pekerjaan rumah tidak diselesaikan. Enam rekomendasi baru dari UNESCO hingga kini belum dituntaskan. Bahkan, kelembagaan pasca-pengakuan UNESCO justru melemah. Gubernur Sumatera Utara membentuk BP TC UGGp melalui Pergub No. 48 Tahun 2020 dan menunjuk Ir. Mangindar Simbolon, MM sebagai Ketua. Namun, hingga revalidasi UNESCO 2023, BP TC UGGp tidak memiliki rencana kerja, tidak menyusun master plan, dan nyaris tidak memiliki anggaran operasional. Banyak bidang tidak aktif karena ditempati oleh pejabat ex officio tanpa dedikasi penuh.

UNESCO akhirnya memberikan kartu kuning pada 2023. Namun bukannya sigap, justru terjadi kekosongan jabatan Ketua Harian sejak September 2023 hingga awal 2025. Pergub baru No. 5 Tahun 2024 memang diterbitkan, namun implementasinya tertatih-tatih. Artinya, ketika peringatan serius datang dari UNESCO, pengelola justru mengalami kekosongan komando dan ketidaksiapan kelembagaan yang akut.

Baru pada 4 Februari 2025, Azizul Kholis, seorang akademisi, dilantik sebagai General Manager. Namun, ia dihadapkan pada tantangan besar: minimnya waktu menuju revalidasi Juli 2025, nihilnya dukungan anggaran, dan belum adanya audiensi formal dengan Gubernur Sumatera Utara.

Dalam rentang waktu 2012–2025, tercatat enam pemimpin dengan latar belakang berbeda:

  • Birokrat murni (Inspiring Geopark)
  • Profesional panas bumi
  • Tim Percepatan berlatar belakang birokrasi dan militer
  • Kepemimpinan militer yang terbukti efektif secara teknis
  • Dominasi birokrat pasca-2020
  • Akademisi yang baru dilantik pada 2025

Catatan menunjukkan bahwa gaya birokrasi cenderung lamban, kurang progresif, dan tidak fleksibel dalam merespons tuntutan UNESCO. Sementara kepemimpinan militer lebih cepat dalam eksekusi teknis, namun lemah dalam membangun pendekatan partisipatif jangka panjang. Kini, di tangan akademisi, nasib geopark akan diuji kembali.

Geopark bukan semata soal administrasi, melainkan kombinasi antara konservasi, pemberdayaan masyarakat, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan. Maka, yang dibutuhkan bukan sekadar birokrat, bukan pula teknokrat. Tapi sosok pemimpin berjiwa gerakan, memiliki daya juang sosial, dan mampu menjalin koordinasi vertikal, horizontal, maupun diagonal—baik dengan pemerintah pusat, daerah, LSM, komunitas lokal, dunia usaha, hingga lembaga internasional.

Lebih dari itu, pemimpin ideal Geopark Toba harus memiliki roh kepedulian terhadap masyarakat dan alam—yang bekerja bukan demi citra, melainkan karena panggilan moral. Sosok seperti ini belum benar-benar hadir. Maka, tak heran jika Geopark Toba terus terombang-ambing antara pengakuan global dan realitas lokal yang tertinggal.***

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *