Views: 50
SAMOSIR, JAPOS.CO – Tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya berjudul “Geopark Bukan Pariwisata: Saatnya Luruskan Arah, Bukan Sekadar Mengejar Wisatawan”. Kali ini, pembahasan diarahkan pada makna sejati Geopark dan potensinya sebagai solusi nyata atas kerusakan ekologis di Tano Batak.
Sudah saatnya pengelolaan Geopark Kaldera Toba tidak lagi dimaknai sebatas alat untuk mendulang wisatawan, tetapi sebagai instrumen pemulihan ekologis, peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta konservasi warisan geologi dan budaya kawasan Danau Toba. Geopark adalah rumah besar kita bersama, tempat manusia, alam, dan sejarah hidup berdampingan dalam harmoni.
Geopark Kaldera Toba menyimpan fenomena geologi yang bernilai internasional (international geological significance) serta nilai universal luar biasa (universal outstanding value) yang telah diakui UNESCO. Maka, menjadikan geopark hanya sebagai ‘destinasi wisata’ adalah sebuah reduksi makna yang keliru dan kontraproduktif.
Lebih dari itu, geopark sejatinya adalah ruang hidup berkelanjutan yang berpijak pada tiga pilar utama: konservasi, edukasi, dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Melindungi situs-situs geologi dari kerusakan, memberdayakan masyarakat lokal, dan mengembangkan ekonomi tanpa mengorbankan ekologi, adalah fondasi dari pengelolaan geopark yang benar.
Pernyataan kritis dari Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Victor Tinambunan, M.St., bahwa kondisi Tano Batak saat ini “tidak baik-baik saja”, perlu menjadi refleksi kolektif. Kerusakan ekologis yang terjadi di kawasan Danau Toba bukan akibat bencana alam, tetapi hasil dari ketidakpedulian, eksploitasi, dan ketidaktegasan kebijakan manusia. Pembalakan liar, pencemaran air danau, serta pembangunan yang abai terhadap daya dukung lingkungan telah menempatkan Danau Toba dalam ancaman serius.
Pemahaman masyarakat lokal tentang nilai sejarah letusan Gunung Toba serta warisan geologi, ekologi, dan budaya yang ditinggalkannya, menjadi modal sosial yang tak ternilai untuk membangun kesadaran ekologis yang berkelanjutan. Nilai-nilai ini harus ditanamkan lintas generasi agar pembangunan kawasan tidak terputus dari akar identitas dan kearifan lokal.
Sebagaimana kajian para ahli menunjukkan bahwa 95% daya tarik suatu kawasan wisata bersumber dari kealamian dan kebudayaannya, maka pengembangan pariwisata berbasis geopark adalah pilihan strategis yang tak bisa ditawar. Itulah yang menjadi dasar penetapan Geopark Kaldera Toba sebagai model pembangunan berkelanjutan sejak 2013 oleh tujuh bupati kawasan Danau Toba, Gubernur Sumatera Utara, dan Kementerian Pariwisata.
Geopark Kaldera Toba telah berjalan lebih dari satu dekade, tetapi manajemen pengelolaan dan konsolidasi kelembagaan masih lemah. Ironisnya, banyak pihak justru baru menunjukkan kepanikan ketika jadwal asesmen ulang UNESCO semakin dekat pada Juli 2025. Pemerintah pusat dan daerah berlomba-lomba menunjukkan ‘kesibukan’ yang terlambat, seolah melupakan bahwa mereka telah diberi waktu dua tahun untuk berbenah secara substansial, bukan hanya kosmetik.
Padahal, struktur pengelolaan geopark sudah sangat jelas: jika cakupan wilayah antar desa, camat yang mengoordinasi; antar kecamatan, bupati; antar kabupaten, gubernur. Maka sangat jelas bahwa Geopark Kaldera Toba harus berada di bawah kendali langsung Gubernur Sumatera Utara. Kepemimpinan yang kuat dan berorientasi pada visi jangka panjang adalah kunci keberhasilan geopark, sebagaimana disyaratkan oleh UNESCO.
Lebih dari sekadar koordinasi teknis, dibutuhkan figur pemimpin yang mampu menyatukan visi, merangkul semua pihak, dan menyanyikan harmoni pembangunan berbasis geopark. Ibarat sebuah orkestra, pembangunan Geopark Toba membutuhkan dirigen yang piawai – dan posisi itu selayaknya dipegang oleh Gubernur Sumatera Utara.
Menghadapi tantangan ekologis yang kompleks, serta tuntutan UNESCO yang semakin ketat, sudah bukan waktunya lagi saling menyalahkan atau membuat pencitraan. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata, keberanian politik, serta keikhlasan untuk menempatkan masa depan Tano Batak di atas segala kepentingan jangka pendek.
Dan andai lagu “Oh Tano Batak” kembali dinyanyikan, biarlah bukan sekadar romantika, melainkan cermin dari janji bersama untuk menjaga, merawat, dan membangun rumah besar kita ini—dengan jiwa, akal, dan seluruh cinta.***
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)