Views: 118
SAMOSIR, JAPOS.CO – Dalam seruan yang menggugah hati dan sarat kepedulian terhadap kondisi lingkungan Tano Batak, Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST, menyerukan agar konsep Geopark tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga alat nyata untuk memulihkan krisis ekologis yang mengancam kawasan Danau Toba. Hal ini disampaikan dalam wawancaranya dengan Kompas TV pada Rabu, 7 Mei 2025 yang lalu.
Geopark, sebagai sebuah pendekatan pembangunan berkelanjutan, mengusung filosofi “Memuliakan warisan bumi, mensejahterakan masyarakat.” Dengan semangat tersebut, Geopark seharusnya menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat lokal melalui konservasi alam dan budaya secara harmonis.
Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Danau Toba, yang secara alami terbentuk dari letusan Gunung Api Toba 74.000 tahun lalu dan dikenal sebagai danau oligotropik (rendah nutrien), kini menghadapi ancaman serius akibat eutrofikasi. Limbah rumah tangga, hotel, pertanian, dan peternakan, serta aktivitas keramba jaring apung tanpa pengelolaan limbah yang memadai telah menurunkan kualitas air secara drastis.
“Pertanyaan mendasar adalah, seberapa luas hutan harus dikembalikan untuk menjaga kelestarian Danau Toba?” tanya Ephorus dengan nada prihatin. Ia menekankan pentingnya konservasi tutupan hutan sebagai benteng alami yang menjaga kestabilan ekosistem.
Kawasan Toba dalam Ancaman
Menurut data ilmiah, agar sebuah danau dapat berfungsi optimal dalam siklus ekologinya, luas Daerah Tangkapan Air (DTA) idealnya adalah lima kali lipat dari luas permukaan danau. Sayangnya, DTA Danau Toba saat ini tercatat kurang dari tiga kali lipat dari luas danau, yang mencapai 1.130 km². Hal ini membuat Danau Toba sangat rentan terhadap degradasi lingkungan.
Kajian Hansoning Consultant bahkan menyimpulkan bahwa reboisasi kawasan DTA mutlak diperlukan untuk mencegah bencana seperti tanah longsor dan krisis air bersih. Beberapa penyebab utama kerusakan lingkungan di kawasan ini antara lain:
- Kerusakan Lingkungan:
- Maraknya pertambangan ilegal (galian C),
- Penebangan hutan liar maupun legal yang tidak terkendali,
- Kebakaran lahan dan hutan yang terjadi hampir setiap tahun.
- Penurunan Kualitas Air:
- Pembuangan limbah domestik dan hotel langsung ke danau tanpa instalasi pengolahan,
- Aktivitas keramba jaring apung yang berlebihan,
- Limbah peternakan dan oli dari kapal wisata dan nelayan.
- Siklus Pengembangan Geopark yang Ideal
Konsep geopark seharusnya memiliki siklus pembangunan yang selaras antara konservasi, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan konservasi sebagai pilar utama, geopark mampu mengintegrasikan konservasi geologi, flora-fauna, dan budaya menjadi kekuatan pendorong dalam geowisata. Edukasi kepada masyarakat tentang warisan geologi dan budaya lokal harus dibarengi dengan pembentukan UKM berbasis geowisata, yang mampu menghasilkan produk kreatif dan berkelanjutan.
Namun, tantangan justru datang dari tubuh pengelola Geopark Toba sendiri. Selama tiga tahun terakhir, manajemen Geopark dinilai gagal melaksanakan rekomendasi UNESCO tahun 2020. Dokumen perencanaan lemah, program kerja tak terstruktur, dan absennya pelaporan kepada Pemerintah Provinsi serta kurangnya sinergi antar bidang dalam organisasi membuat keberadaan Badan Pengelola Geopark Toba hampir lumpuh total.
Astha Penghijauan dan Konservasi Kawasan Danau Toba
Sebagai bentuk respons konkret terhadap degradasi ekologis yang terjadi, Ephorus HKBP bersama Pergerakan Penyelamatan Kawasan Danau Toba merekomendasikan delapan langkah strategis yang disebut “Astha Penghijauan dan Konservasi Danau Toba”, antara lain:
1.Mendorong moratorium penebangan kayu di seluruh kawasan Danau Toba.
2. Mendesak pemerintah untuk meninjau ulang izin perusahaan perusak lingkungan seperti PT Toba Pulp Lestari, PT Aquafarm Nusantara, dan lainnya.
3.Mewajibkan hotel dan industri memasang instalasi pengolahan limbah.
4.Penerapan sistem pengelolaan sampah terpadu (TPST) yang memadai.
5.Mendorong pertanian organik sebagai contoh pertanian berkelanjutan.
6.Menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Batak yang selaras dengan konservasi lingkungan.
7.Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan lokal.
8.Memperkuat kelembagaan berbasis kearifan lokal.
Tantangan Menjelang Revalidasi UNESCO 2025
Geopark Toba akan menghadapi revalidasi dari UNESCO pada Juni 2025. Namun, hingga saat ini belum terlihat adanya kesiapan dokumen yang memadai seperti Dokumen A, B, Progress Report, dan Annual Report 2023–2024.
Bagaimana harapan Ephorus akan terjawab kalau pengelolaan Geopar tidak baik, mampukah Pengelola Geopark Toba memenuhi harapan Ephorus tersebut dengan kondisi kelembagaan yang lemah, program kegiatan tak jelas, sumber keuangan serta sarana dan prasarana yang kurang mendukung, atau jangan-jangan harapan tersebut seperti menggantungkan harapan pada sebuah ranting pohon yang kering dan lapuk ???
Kini, tanggung jawab berat berada di pundak manajemen baru Geopark Toba yang dikukuhkan pada 4 Februari 2025. Mereka harus bekerja ekstra keras, bukan hanya untuk mengejar kinerja yang tertunda, tetapi juga membuktikan kepada dunia bahwa Tano Batak masih layak disebut sebagai kawasan geopark kelas dunia.
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)