BeritaHEADLINESumatera Utara

Pengelola Geosite Dihapus, Diganti Kelompok Kerja Geosite: Geopark Toba di Ambang Krisis Menjelang Revalidasi UNESCO

×

Pengelola Geosite Dihapus, Diganti Kelompok Kerja Geosite: Geopark Toba di Ambang Krisis Menjelang Revalidasi UNESCO

Sebarkan artikel ini
Wilmar Eliaser Simandjorang.

Views: 50

SAMOSIR, JAPOS.CO – Pengelolaan Toba Caldera Unesco Global Geopark (TCUGGp) kembali disorot setelah terbitnya Peraturan Gubernur Sumatera Utara (Pergub Sumut) Nomor 5 Tahun 2024 yang menghapus struktur formal pengelola geosite dan menggantinya dengan mekanisme Kelompok Kerja Geosite yang cukup ditunjuk oleh bupati setempat. Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar tentang kesiapan dan keseriusan pemerintah daerah dalam mempertahankan status UNESCO Global Geopark menjelang revalidasi pada pertengahan 2025.

Sejak tahun 2015, pengelolaan kawasan Geopark Kaldera Toba telah mengalami berbagai perubahan kelembagaan, mulai dari empat Geo Area Manager, kemudian menjadi 16 pengelola geosite. Namun, pasca pengakuan Toba sebagai UNESCO Global Geopark pada 2020, pengelola geosite dipertahankan hingga awal 2025—lalu tiba-tiba dihapus.

Ironisnya, 16 pengelola geosite yang menjadi ujung tombak kegiatan lapangan diberhentikan secara mendadak pada Maret 2025, tanpa surat keputusan resmi. Sementara itu, struktur Kelompok Kerja  pengganti yang dijanjikan hingga awal Mei 2025 belum juga terbentuk di tujuh kabupaten kawasan Danau Toba. Kondisi ini menimbulkan kekosongan organisasi di lapangan pada saat krusial, di mana persiapan revalidasi UNESCO justru memerlukan bukti kerja nyata di tingkat tapak.

Revalidasi UNESCO: Kesiapan atau Sekadar Klaim?

Revalidasi TCUGGp oleh tim asesor UNESCO dijadwalkan pada Mei–Juni 2025, dengan rute geosite meliputi Sibaganding, Haranggaol, Silahi Sabungan, Tongging, hingga Muara Sibandang. Namun pertanyaan mendasar muncul: apakah sarana dasar seperti panel informasi, plank nama, penunjuk arah, dan branding UNESCO sudah tersedia?

Hasil pemantauan menunjukkan situasi di lapangan masih stagnan dibandingkan tahun 2023. Pusat Informasi Geopark pun belum memuat logo UNESCO secara jelas, dan belum ada integrasi informasi geologi, biologi, serta budaya sebagaimana dipersyaratkan. Rekomendasi mitigasi bencana dari UNESCO yang seharusnya menjadi prioritas, belum tampak terimplementasi secara visual maupun fungsional.

Penguatan Kelembagaan: Retorika Tanpa Realisasi

Salah satu syarat penting UNESCO adalah kemitraan lintas sektor dan penguatan kelembagaan. Namun, implementasi MoU, MoA, hingga Implementation Agreement (IA) tampaknya masih sebatas dokumen tanpa aksi nyata. Banyak pengelola geosite tidak mendapatkan pelatihan, belum pernah studi banding ke geopark lain, dan kini malah dihapus dari struktur.

Penggantinya, yaitu Kelompok Kerja Geosite, bahkan belum jelas siapa yang masuk di dalamnya, apa tugasnya, dan apa sumber daya yang dimilikinya. Padahal, waktu menuju revalidasi tinggal hitungan minggu.

Dimana Pemerintah Daerah dan Pemprov?

Revalidasi bukan hanya tugas Badan Pengelola TCUGGp, tetapi juga memerlukan dukungan penuh dari Pemprov Sumut, tujuh pemerintah kabupaten, serta masyarakat lokal dan mitra strategis. Namun hingga kini, belum terlihat gerakan masif pemberdayaan masyarakat berbasis geopark di tingkat tapak. Tidak adanya program kerja konkret yang dijalankan kelompok kerja membuat posisi TCUGGp semakin rentan.

Melihat kondisi ini, pertanyaan paling fundamental yang patut diajukan secara jujur: Apakah Toba Caldera benar-benar layak mempertahankan status sebagai UNESCO Global Geopark?

Apakah sudah ada tanggung jawab nyata dari para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan di semua level pemerintahan? Atau status ini hanya dijadikan simbol prestise tanpa komitmen implementasi yang sesungguhnya?

Perubahan struktural yang tidak disertai kesiapan sumber daya dan strategi implementasi hanya akan menjatuhkan kredibilitas Geopark Toba di mata dunia. Dalam geopark, keberhasilan bukan hanya soal status administratif, tetapi komitmen kolektif menjaga warisan geologi, budaya, dan ekologi—yang saat ini, masih jauh panggang dari api.***

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *