BeritaHEADLINESumatera Utara

Edukasi Geopark yang Efektif: Tantangan Meningkatkan Kesadaran dan Pelestarian Lingkungan di Tano Batak

×

Edukasi Geopark yang Efektif: Tantangan Meningkatkan Kesadaran dan Pelestarian Lingkungan di Tano Batak

Sebarkan artikel ini
Wilmar Eliaser Simandjorang.

Views: 117

SAMOSIR, JAPOS.CO – Toba Caldera Unesco Global Geopark (TCUGGp) merupakan salah satu warisan geologi dunia yang tak hanya menyimpan keunikan alam, tetapi juga nilai-nilai budaya dan ekologis yang luar biasa. Sayangnya, upaya pelestariannya belum sepenuhnya mendapat perhatian yang proporsional dari seluruh pemangku kepentingan. Salah satu elemen kunci yang masih menjadi tantangan serius adalah efektivitas program edukasi Geopark kepada masyarakat luas.

Pendidikan Geopark tidak sekadar transfer pengetahuan tentang batuan dan tanah. Filosofinya jauh lebih dalam: menghubungkan manusia dengan alam, membangkitkan kesadaran ekologis, serta mendorong perilaku berkelanjutan yang berakar pada pemahaman geologi dan budaya lokal. Sayangnya, semangat ini kerap terjebak dalam seremoni dan dokumentasi, tanpa efek nyata pada perilaku masyarakat.

Siapa yang Seharusnya Dilibatkan?

Target peserta edukasi harus dirancang inklusif dan strategis. Edukasi Geopark bukan hanya untuk siswa, tapi juga:

  • Masyarakat lokal sebagai garda terdepan pelestarian.
  • Wisatawan yang berinteraksi langsung dengan kawasan.
  • Pekerja pariwisata yang menjadi corong informasi.
  • Guru dan dosen sebagai agen pengubah pemikiran generasi muda.
  • Pemerintah daerah dan pengelola Geopark sebagai pengambil kebijakan.
  • Pertanyaannya: apakah semua kelompok ini sudah benar-benar disentuh oleh program pelatihan yang sesuai?

Materi Edukasi: Apakah Sudah Kontekstual dan Partisipatif?

Materi edukasi harus mencakup:

  • Geologi dan Lingkungan: Dari proses geologis hingga sejarah terbentuknya Kaldera Toba.
  • Kebudayaan Lokal: Tradisi, kearifan lokal, dan keterkaitannya dengan lanskap geologis.
  • Konservasi dan Pengelolaan: Edukasi berbasis aksi nyata di lapangan, bukan sekadar teori di ruang kelas.

Namun, edukasi yang efektif tak hanya soal isi, tapi juga metode. Sejauh mana pendekatan partisipatif dan berbasis praktik lapangan diterapkan di Toba?

Indikator Keberhasilan: Sekadar Seremonial atau Berdampak Nyata?

  • Program edukasi yang berhasil harus mampu:
  • Meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat.
  • Mengubah perilaku konservasi baik dari warga lokal maupun wisatawan.
  • Mendorong partisipasi aktif dalam pelestarian.
  • Menjalankan evaluasi sistematis atas dampak pendidikan.

Sayangnya, hingga kini belum tersedia data transparan yang dapat menunjukkan indikator-indikator ini telah dicapai di kawasan TCUGGp.

Geopark seperti Ha Long Bay (Vietnam), Lesvos Petrified Forest (Yunani), dan Stonehammer (Kanada) telah menunjukkan bagaimana edukasi dapat mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat. Mereka tidak hanya menyampaikan materi, tapi juga membangun kesadaran melalui keterlibatan langsung, integrasi dengan pendidikan formal, dan kemitraan lintas sektor. Model seperti ini belum sepenuhnya diterapkan di Toba.

Kompetensi Pengelola: Apakah Sudah Siap Hadapi Asesor UNESCO?

  • Pengelola edukasi Geopark harus memiliki kompetensi:
  • Perencanaan dan evaluasi program edukasi.
  • Pemahaman geologi, konservasi, dan geowisata.
  • Komunikasi lintas sektor.
  • Manajemen data dan pengambilan keputusan berbasis analisis.
  • Kepemimpinan untuk mendorong kolaborasi dan inovasi.

Jika kompetensi ini belum dimiliki secara menyeluruh, maka risiko kegagalan saat asesmen UNESCO pada Juni 2025 akan sangat nyata.

Menjelang kunjungan Asesor UNESCO pada Juni 2025, pertanyaan besar yang harus dijawab secara transparan adalah:

Apakah pelaksanaan edukasi di Toba Caldera UGGp telah memenuhi standar UNESCO dalam hal keterlibatan masyarakat, relevansi materi, metode pengajaran, evaluasi, dan keberlanjutan program?

Jika jawabannya belum sepenuhnya, maka “kartu kuning” dari UNESCO bukan hanya sekadar peringatan, tapi refleksi dari lemahnya ekosistem pelestarian berbasis pengetahuan. Tanpa perbaikan segera, peluang mengubah kartu kuning menjadi kartu hijau hanya akan jadi mimpi.***

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *