BeritaHEADLINESumatera Utara

Geopark Toba Gagal, Harapan Baru dari Komitmen Tano Batak dan Gugus Tugas HKBP dalam Menyelamatkan Ekologi Danau Toba

×

Geopark Toba Gagal, Harapan Baru dari Komitmen Tano Batak dan Gugus Tugas HKBP dalam Menyelamatkan Ekologi Danau Toba

Sebarkan artikel ini
Salah Satu Kaldera Toba di tetapkan sebagai UNESCO Global Geopark.

Views: 524

SAMOSIR, JAPOS.CO – Ketika Geopark Kaldera Toba resmi memperoleh pengakuan sebagai UNESCO Global Geopark pada Juli 2020, harapan besar tumbuh bahwa kawasan Danau Toba akan mengalami transformasi positif melalui pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Namun, kenyataan berkata lain.

Hanya dalam kurun waktu empat tahun, harapan itu kini meredup. Pada tahun 2024, UNESCO menjatuhkan kartu kuning kepada Geopark Kaldera Toba akibat gagalnya pengelolaan dan tidak terpenuhinya empat rekomendasi penting yang sebelumnya diberikan. Kegagalan ini menjadi simbol runtuhnya mimpi besar tentang pembangunan berkelanjutan di kawasan yang selama ini dikenal sebagai jantung peradaban Batak dan ikon pariwisata Sumatera Utara.

Geopark: Konsep Hebat yang Tak Terealisasi

Pada tahun 2012, tujuh bupati dari kawasan Danau Toba sepakat untuk mengadopsi konsep geopark sebagai landasan pembangunan pariwisata berkelanjutan. Konsep geopark dianggap paling sesuai karena memadukan tiga elemen utama: konservasi warisan geologi dan lingkungan, edukasi publik, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal melalui geowisata.

Strategi pembangunan geopark mencakup pembangunan infrastruktur wisata, pengembangan produk wisata berbasis keunikan geologi dan budaya lokal, promosi lintas kanal, hingga pengelolaan lingkungan yang ketat. Namun, strategi ini tidak pernah diterapkan secara utuh dan konsisten.

Akibat minimnya profesionalitas, lemahnya koordinasi antar institusi, dan rendahnya partisipasi masyarakat lokal, berbagai program hanya berhenti pada tataran wacana. Alih-alih memberdayakan, kawasan Danau Toba malah terus mengalami degradasi lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan meningkatnya konflik agraria serta pencemaran air dan udara.

Peringatan Keras dari UNESCO

Pemberian kartu kuning dari UNESCO bukan sekadar teguran administratif. Itu adalah peringatan keras bahwa Danau Toba berada di ambang kehilangan status geopark global. Jika tidak segera dilakukan perbaikan signifikan dalam manajemen dan pengelolaan kawasan, status itu dapat dicabut sepenuhnya—yang akan menjadi pukulan telak bagi citra pariwisata Indonesia di mata dunia.

Empat kali rekomendasi dari UNESCO tak kunjung ditindaklanjuti. Tidak ada transformasi struktural, tidak ada audit lingkungan, dan tidak ada roadmap yang realistis untuk menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan. Hal ini menandai kegagalan kolektif para pemangku kebijakan, baik di tingkat pusat, daerah, maupun pelaksana teknis geopark.

HKBP dan Komitmen Tano Batak: Harapan Baru dari Akar Rumput

Ketika negara gagal, masyarakat sipil bergerak. Salah satu harapan baru kini muncul dari Gerakan “Peduli Tano Batak” yang diinisiasi oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di bawah kepemimpinan Ephorus Pdt. Dr. Robinson Butarbutar saat itu. Gerakan ini muncul sebagai bentuk respon konkret terhadap krisis ekologis yang kian mengancam kawasan Danau Toba.

HKBP menyadari bahwa pemulihan Tano Batak tidak mungkin hanya mengandalkan pemerintah. Dibutuhkan sinergi antara masyarakat, gereja, institusi pendidikan, dunia usaha, dan media. HKBP, dengan jaringannya yang luas di wilayah Tapanuli, memilih untuk mengambil peran aktif dan memimpin dari depan.

Doa Bersama, Aksi Nyata

Tiga gelombang doa bersama telah digelar di Kabupaten Toba, Samosir, dan yang terbaru pada 16 April 2025 di Stadion Lapangan Bola Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Acara ini dihadiri lebih dari 5.000 orang, terdiri dari pelayan gereja, aparat pemerintah, anggota Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), dan masyarakat umum.

Uniknya, selain berdoa dan menyerukan komitmen pelestarian alam, gerakan ini juga menyatakan perlawanan terhadap empat penyakit sosial yang turut memperparah kondisi Tano Batak: narkoba, perjudian, perdagangan manusia, dan kerusakan lingkungan. Seruan moral ini menempatkan gerakan HKBP bukan hanya sebagai institusi keagamaan, tapi sebagai pelopor gerakan sosial dan ekologis.

Pembentukan Gugus Tugas: Satgas Tano Batak

Salah satu hasil konkret dari gerakan ini adalah rencana pembentukan Task Force atau Satgas Tano Batak. Gugus tugas ini akan menjadi unit pelaksana yang berfungsi untuk mengawasi, merespons cepat, dan menangani langsung berbagai isu krusial—baik itu kerusakan lingkungan, pencemaran danau, konflik lahan, maupun peredaran narkoba.

Pdt Dr. Victor Tinambunan yang saat ini Ephorus HKBP mengatakan, tugas menjaga Tano Batak adalah tanggung jawab kolektif. Ia menyerukan agar pihak-pihak yang selama ini mengambil keuntungan dari kerusakan lingkungan dan penyakit sosial segera bertobat dan berhenti merusak masa depan generasi Batak.

Gerakan ini membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari kesadaran kolektif masyarakat lokal. Dari tepi Danau Toba, seruan moral dan aksi nyata bergema ke seluruh penjuru negeri. Krisis ekologi bukan hanya persoalan lokal, tapi problem kemanusiaan yang menuntut solidaritas lintas sektor.

Kini, saat pemerintah belum kunjung hadir secara penuh, gereja dan masyarakat Batak mengambil peran yang selama ini ditinggalkan. HKBP dan para pemimpin lokal menunjukkan bahwa merawat alam bukan hanya tindakan ekologis, tetapi juga tindakan iman dan kasih kepada ciptaan Tuhan.

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si (Penulis adalah Penggiat Lingkungan dan Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *