Views: 1.7K
JAKARTA, JAPOS.CO – Advokat dan ahli hukum Dr Ir Albert Kuhon MS SH belum berani berkomentar tentang putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor 180/PK/PDT/ 2024. Isi putusan itu mengabulkan Pemohon Widowati Hartono, yang menjadi korban mafia tanah akibat gugatan Mulya Hadi dkk.
Tahun 2021, Mulya Hadi dkk menggugat Widowati selalu pemilik tanah di Darmo Permai, dengan Kedua Kepala Kantor Pertanahan Surabaya 1 selalu turut tergugat. Di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan kasası, Mulya Hadi dkk yang menggunakan surat-surat keterangan dari Lurah Lontar di Surabaya, berhasil mengalahkan Widowati yang memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Perkara ini sering disebut-sebut sebagai salah satu kasus mafia tanah di Surabaya.
Dari situs Kepaniteraan Mahkamah Agung RI: Amar putusan tanggal 21 Mei 2024 dalam perkara peninjauan kembali Nomor 181/PK/PDT/2024, permohonan Widowati dikabulkan.
Advokat yang menjadi juru bicara Widowati selaku pemohon peninjauan kembali (semula tergugat) yang dihubungi Redaksi Harian Jayapos , Kamis (22/5/2024) menyatakan; “Saya belum bisa berkomentar karena belum terima putusan tersebut.”
Perkara ini sempat menjadi sorotan media melalui diskusi terpandu atau Focus Group Discussion (FGD) tentang Mafia Tanah, yang berlangsung di Surabaya, Selasa (21/5/2024).
Simpulan diskusi meyakinkan, mafia tanah harus diganyang karena mampu menelikung hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat pemilik tanah yang sah. Mafia tanah dalam praktiknya tidak pandang bulu, merongrong korban dari masyarakat umum bahkan pemerintah.
Keyakinan tersebut menurut Albert Kuhon yang memandu diskusi, karena kita telah memperolah pandangan dan pendapat berdasarkan hukum dari para pembicara yang ahli di bidangnya. Di antaranya pendapat Prof Dr Hotman M Siahaan (guru besar sosiologi Universitas Airlangga), Dr Ronsen Pasaribu (mantan Direktur Konflik Badan Pertanahan Nasional), G.A. Guritno (Direktur PT Gatra Multimedia Utama), serta wartawan senior di Surabaya, Lugas Wicaksono dan Jaka Wijaya.
FGD diselenggarakan untuk menjawab keresahan atas maraknya persekongkolan jahat sekelompok pihak yang mengangkangi hak pemilik tanah yang sah di wilayah Surabaya. Ada indikasi sekelompok ahli hukum dan pemodal telah bekerja sama dengan aparat penegak hukum, untuk memperalat warga dan merebut lahan secara licik dari pemiliknya yang sah.
Albert Kuhon yang juga wartawan senior dalam penjelasannya menyatakan, para pembicara telah mengungkapkan praktik persekongkolan tersebut mulai dari membuat surat keterangan palsu melalui kerjasama dengan aparat kelurahan, kemudian menggunakan surat-surat palsu itu ke pengadilan, hingga merekayasa kasus di pengadilan untuk merampas hak atas tanah dari pemiliknya yang membeli secara sah.
Kekerasan Agraria
Dalam kesempatan diskusi itu, Profesor Hotman Siahaan menegaskan banyak kekerasan agraria mengalami kebuntuan. Bentuk kolusi berbagai pihak yang terdiri penjahat, pemilik modal, perangkat hukum, penguasa, dan pihak lain seringkali bersikukuh menggunakan peraturan hukum yang melahirkan kekerasan agraria.
Dalam berbagai sengketa, hasil kolusi komplotan mafia tanah sering mengakibatkan pertarungan tidak seimbang, antara kekuatan hukum dengan kalangan masyarakat, atau rakyat yang membeli tanahnya melalui proses yang benar dan dengan itikad baik,” Hotman Siahaan menekankan.
Sementara itu, dalam penelusurannya selama mendalami kasus-kasus sengketa tanah di Surabaya sebagai wartawan, Lugas Wicaksono memaparkan banyaknya indikasi mafia tanah memanfaatkan celah hukum dan pencatatan tanah yang masih belum rapi, untuk menguasai tanah secara sistematis, rapi dan terencana.
Modus yang digunakan mulai dari memalsukan surat-surat tanah untuk menjual lahan milik orang lain, kemudian menggugat pemilik tanah, hingga indikasi kongkalikong dengan aparat hukum sehingga mendapat pengesahan dengan menang di pengadilan. Akibatnya, pemilik sah pun, bisa mereka telikung.
“Mafia tanah bahkan bisa membuat pemilik tanah yang sah, pembeli beritikad baik, membayar pajak, dan bahkan sudah memiliki sertifikat tanah bisa kehilangan haknya, hanya karena gugatan orang yang mengaku sebagai ahli waris tanah yang memegang Petok D,” kata Lugas.
Darmo Permai
Ia memberi contoh kasus sengketa tanah di wilayah Darmo Permai di Surabaya, antara Mulya Hadi dan Widowati serta Mulya Hadi dan Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera.
Dalam kasus ini, Mulya Hadi yang mengklaim memegang Petok D atas tanah seluas 10.000 meter persegi menjual lahan tersebut kepada dua orang berbeda yaitu Stefanus Sulayman dan PT Mobira Raya.
Terkait tersebut, status tanah tidak dapat ditingkatkan, karena di atas lahan tersebut telah terbit Sertifikat Hak Guna Bagunan (SHGB) atas nama Widowati dan atas nama Yayasan CHHS.
Padahal Widowati diketahui telah menguasai lahan tersebut sejak tahun 1996 dari PT Darmo Permai. Sementara Yayasan CHHS melalui proses jual beli sebelumnya.
Ahli Waris
Mulya Hadi mengaku sebagai ahli waris pasangan almarhum Randim dan Ny Kasri, pertengahan Desember 2015 mendaftarkan perkara gugatan Nomor 280/P/2015/PTUN.Sby di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. Ia menggugat Lurah Lontar (pada waktu itu) agar menerbitkan surat keterangan kepemilikan tanah sekitar 10.000 meter persegi di Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya.
Dikatakan, kepemilikannya tercantum dalam Petok D No 805 Persil 65 D-II dan mereka berusaha melengkapi persyaratan buat mengurus sertifikat tanah tersebut di Kantor Pertanahan Surabaya.
Ringkasnya, dokumen itu kemudian dijadikan sebagai objek jual-beli dengan pihak lain. Lalu, melalui gugatan di pengadilan negeri, ahli waris Randim meminta agar transaksi itu dibatalkan dan pengadilan menyatakan tanah tersebut miliknya.
Setelah mendapat putusan pengadilan berisi kepemilikan tersebut, ahli waris Randim kemudian menggugat yayasan dan Widowati yang membeli tanah dari PT Darmo Permai.
“Yayasan itu digugat di pengadilan oleh sekelompok orang yang mengaku rakyat kecil, namun mewakili kepentingan mafia tanah. Persidangannya dipimpin hakim Itong Isaneni Hidayat yang belakangan tertangkap tangan menerima uang suap/korupsi dalam kasus lain,” jelas Jaka Wijaya.
Sidang Singkat
Persidangan sengketa tanah milik yayasan itu berlangsung singkat pada 2021. Dalam waktu persidangan kurang dari sebulan, majelis hakim membatalkan empat sertifikat tanah atas nama yayasan dan mengabulkan permintaan penggugat. Padahal yayasan itu membeli empat lahan itu sekitar 20 tahun sebelumnya dan sudah memiliki sertipikat atas tanah-tanah itu.
Tidak lama setelah putusan itu, para penggugat mengeksekusi dan menguasai tanah yang jadi objek sengketa.
Belakangan yayasan melakukan perlawanan hukum dan memenangkan kembali haknya melalui Peninjauan Kembali, yang diproses di Mahkamah Agung.
Tetapi ketika yayasan akan mengambil kembali haknya atas tanah itu, ternyata lahan tersebut sudah dijual kepada pihak lain.
“Sampai sekarang Yayasan CHHS belum berhasil mendapatkan kembali haknya walaupun secara hukum sudah memenangkan kembali perkara itu,” lanjut Jaka.
Anehnya, justru pihak yang membeli lahan yayasan dari Mulya Hadi, tengah melakukan gugatan balik dan saat ini memasuki tahap kasasi.
Sementara Widowati telah membeli tanah dari PT Darmo Permai tanggal 24 Juni 1995. Tanah seluas 6.835 meter persegi sudah bersertifikat Hak Guna Bangunan No. 2103/Pradahkalikendal tertanggal 21 September 1994 yang berakhir pada tahun 2001 (sesuai sertifikat induk).
Lahan yang terletak di Jalan Puncak Permai Utara III No. 5-7 Kota Surabaya, diperpanjang pada tahun 2002, SHGB No. 2103/Pradahkalikendal berganti buku menjadi SHGB No 4157/Pradahkalikendal yang berakhir haknya pada tanggal 24 Februari 2022. Sewaktu diperpanjang lagi tahun 2022, berubah lagi menjadi SHGB No 4157/Lontar (berlaku s/d 24 Februari 2042), karena disesuaikan dengan nama kelurahan domisili lahan tersebut.
Adanya putusan Peninjauan kembali Nomor 181/PK/PDT/2024 merupakan kelanjutan dari perkara gugatan sengketa tanah yang diajukan Mulya Hadi terhadap Widowati selaku pemilik tanah.
Mulya Hadi bersaudara mengaku sebagai ahli waris Randim, tanggal 8 April 2021 mendaftarkan perkara gugatan No. 374/Pdt.G/2021/PN.Sby di Pengadilan Negeri Surabaya. Mereka menggugat Widowati selaku tergugat dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya selaku turut tergugat.
Mulya Hadi dkk menyatakan tanah seluas 10.000 m persegi miliknya, sudah dimutakhirkan dan lahan 6.850 m persegi milik Widowati adalah bagian dari lahan 10.000 m persegi sesuai Surat Keterangan Tanah Bekas Milik Adat No. 593.21/18/436.9.31.4/2021 tanggal 26 Maret 2021 yang diterbitkan Lurah Lontar.
Dalam gugatannya ia mengaku sebagai rakyat kecil yang tidak paham hukum dan miskin. Untuk itu minta hakim memutus Widowati selaku tergugat membayar ganti rugi Rp3 miliar karena merampas tanahnya.
Ia juga menggunakan sejumlah keterangan yang diterbitkan atau disahkan Lurah Lontar sebagai bukti-bukti kepemilikanya.
Sidang perkara no. 374/Pdt.G/2021/PN.Sby dimulai Senin tanggal 3 Mei 2021 di Pengadilan Negeri Surabaya. Tanggal 22 Juni 2021, sejumlah orang yang mengaku pihak ahli waris pemilik tanah mendatangi lahan yang dipersengketakan, memasang tenda dan menempatkan satu peti kontainer di lahan tersebut.
Kuasa hukum pihak Widowati minta perlindungan kepada Kapolda Jawa Timur.
Sementara rangkaian sidang berlangsung di pengadilan, di lokasi lahan terjadi bentok fisik antara kelompok pihak tergugat yang mempertahankan haknya dengan kelompok penggugat yang berupaya menduduki lahan yang dipersengketakan.
Advokat Johanes Dipa Widjaja menggantikan Lim Tji Tiong sebagai kuasa hukum penggugat.
Dibangun cerita bahwa almarhum Lim meninggal karena teraniaya, padahal sebetulnya Lim wafat akibat COVID 19.
Majelis hakim yang dipimpin Sudar SH MHum, akhir Januari 2022 memutus, Mulya Hadi adalah pemilik sah atas obyek sengketa seluas sekitar 6.850 m persegi yang dikuasai Widowati.
Majelis hakim juga menghukum Widowati membayar ganti rugi Rp1 milyar kepada Mulya Hadi. Putusan dibacakan Senin, tanggal 31 Januari 2022 dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Pengadilan Tinggi Jawa Timur menguatkan putusan itu.
Pertengahan tahun 2023, Mahkamah Agung dalam putusan kasasi menguatkan putusan itu.
Ajukan PK
Merasa diperlakukan tidak adil, Widowati awal Januari 2024 mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan tersebut. Karena merasa dirinya adalah pembeli yang beritikad baik dan memang memiliki lahan itu secara sah.
Selain itu memiliki bukti-bukti yang sah, termasuk bukti sertifikat tanah, namun bisa dikalahkan oleh bukti-bukti berdasarkan keterangan lurah.
Advokat Albert Kuhon selaku jurubicara Widowati, mengaku belum mendapat info terkini mengenai perkembangan perkara tersebut. “Jika memang perkara PK sudah diputus, tentu tidak ada halangan bagi pimpinan pengadilan buat menerbitkan izin penyitaan atas lahan itu,” Kuhon menekankan.
Tidak Seimbang
Berbagai pihak yang kemudian menyoroti kasus hukum ini menggambarkan kasus ini bak kegiatan Mafia Tanah.
“Dalam berbagai sengketa, hasil kolusi komplotan mafia tanah sering mengakibatkan pertarungan yang tidak seimbang antara kekuatan hukum dengan kalangan masyarakat atau rakyat yang membeli tanahnya melalui proses yang benar dan dengan itikad baik,” kata Hotman Siahaan, Guru Besar Sosiologi di Universitas Airlangga Surabaya saat dijumpai wartawan dalam forum diskusi di Surabaya Selasa (21/5/2024). (RIS)