Scroll untuk baca artikel
BeritaHEADLINESULAWESISulawesi Selatan

Ketika Organisasi Pemuda Menjadi Rumah Untuk Boneka Para Bandit

×

Ketika Organisasi Pemuda Menjadi Rumah Untuk Boneka Para Bandit

Sebarkan artikel ini

Views: 126

MAROS, JAPOS.CO – Pemuda adalah tulang punggung bangsa. Ketika nusantara terpuruk oleh belenggu penjajahan, sejumlah pemuda dari berbagai organisasi di Nusantara berkumpul dalam kongres pemuda di Batavia pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Kemudian diperingati sebagai hari sumpah pemuda.

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

Organisasi adalah wadah untuk mendidik mental juga karakter pemuda sebagai langkah membelakangi kekuasaan untuk memobilisasi orang-orang yang tercecer dari kebijakan publik. Untuk itulah pendidikan organisasi.

Mengutip apa yang ditulis oleh Pram. “Didiklah generasi dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan” (Pramoedya Ananta Toer: 1985)

Tapi, akhir-akhir ini. Organisasi sepertinya bukan lagi untuk menjadi wadah membentuk karakter juga mental para pemuda untuk membelakangi kekuasaan. Tetapi menjadi wadah para bandit politisi untuk mendekati kekuasaan. Membentuk koalisi dengan para politisi kemudian menjadi boneka para elit.

Merubah pemuda menjadi sok berkuasa hingga merasa bebas melakukan apa saja, kemudian bisa saja menjadi seperti binatang yang orientasinya hanya memikirkan tentang isi perut dan bawah perut.

Tidak perduli lagi tentang berapa banyak tangis yang harus diabaikan, berapa banyak manusia yang jadi tumbal, berapa banyak anak bangsa yang dikorbankan.

Menjadikan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi ditengah masyarakat sebagai modal untuk membentuk citra agar terlihat baik. Seperti itulah pendidikan yang diajarkan.

Apa guna belajar ilmu sosial-politik-hukum dan lain-lain jika tidak berfungsi sebagai langkah merangkul orang-orang yang jauh dari mobilitas sosial ? Saya pikir semua pendidikan untuk melawan ketimpangan, diantaranya ketimpangan yang dilakukan oleh wakil rakyat.

Entahlah. Mari saling mengingatkan satu sama lain tentang pahitnya realita, dan semoga kita tidak menjadi orang yang megalomania.(MH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *