Views: 214
JAKARTA, JAPOS.CO – Modus praktik mafia tanah yang diungkap Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil dinilai perlu pembuktian.
Pasalnya, dalam beberapa waktu lalu, Menteri Sofyan menyebut mafia tanah rela mengeluarkan uang hingga Rp 200 miliar untuk menyogok oknum petugas baik dipertanahan dan peradilan di Indonesia demi sertifikat tanah.
Pernyataan yang disampaikan Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil itu saat Seminar Nasional yang bertema “Peran Komisi Yudisial dalam Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan” melalui akun YouTube Komisi Yudisial beberapa waktu lalu.
Ketua Gerakan Nasional (Gernas) 98, Anton Aritonang memandang, apa yang disampaikan Menteri Sofyan justru akan berdampak negatif dan menyesatkan seakan-akan biaya pengurusan sertifikat tanah mahal.
“Pernyataan Sofyan Djalil sama dengan era orde baru yang mengurus tanah ada biaya mahal. Menteri ATR sudah membuat rakyat takut melakukan pengurusan sertifikat hak milik dan secara tidak langsung menuduh hukum di Indonesia bisa dibayar untuk pengurusan masalah pertanahan , ” kata Anton Aritonang kepada wartawan.
Selain itu, ia juga menyoroti praktik mafia tanah ala Sofyan yang mempersoalkan status tanah dengan girik. Padahal menurut Anton, girik merupakan syarat penting dalam pertanahan.
Anton menjabarkan beberapa kasus sengketa tanah yang berawal pada kepemilikan girik. Dijelaskan Anton, tidak semua masyarakat yang punya tanah luas memiliki sertifikat tanah. Mereka hanya bermodalkan girik.
Hal ini terjadi karena ada stigma negatif di masyarakat bahwa mengurus sertifikat tanah biayanya mahal.
“95 persen tanah yang dimiliki rakyat berlebel tanah wasiat sudah pasti tidak punya sertifikat hak milik, dan hak guna. 60 persennya punyanya girik. Mereka malas ngurus karena terbebani biaya saat masa orde baru,” sambungnya.
Di sisi lain, tanah luas yang dimiliki masyarakat saat ini banyak diidentifikasikan sebagai tanah wasiat, tanah adat. Dalam kerangka pemerintahan Jokowi, jelasnya, tanah luas ini banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur, ada pembebasan lahan.
“Jadi, pernyataan Sofyan Djalil bahwa girik tidak menjadi dasar kepemilikan tanah itu salah besar, karena itu (girik) dasar. Tanah wasiat atau tanah waris jarang yang punya sertifikat tanah,” jelasnya.
Selain itu, Anton menambahkan, kasus tanah saat ini makin bertambah dan tidak ada penyelesaian yang dilakukan Menteri ATR/BPN. Alih alih memerangi mafia tanah. Justru mafia tanah itu ada didalam interen BPN.
“Pemerintah harusnya memfasilitasi persoalan ini. Pembebasan lahan itu mafianya 90 persen ada di birokrasi Kementerian ATR/BPN sendiri dan permasalahan sengketa tanah makin banyak, sudah layaknya Sofyan Djalil punya malu sedikit agar mundur dari jabatannya tanpa harus dipecat,” tutupnya.(Red)