Views: 560
SIMALUNGUN, JAPOS.CO – Dunia pendidikan dasar di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, kembali tercoreng. Dugaan praktik pungutan liar (pungli) mencuat di sejumlah Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Raya Kahean. Sejumlah orang tua murid melaporkan adanya pungutan dengan nominal fantastis yang dibebankan kepada siswa untuk penebusan ijazah dan kegiatan studi tour, bahkan mencapai Rp 400.000 per siswa.
Penelusuran jurnalis Japos.co mengungkap bahwa salah satu SD di kecamatan tersebut mematok biaya Rp 275.000 untuk penebusan ijazah, ditambah pungutan Rp 180.000 untuk studi tour, serta Rp 50.000 untuk tiket masuk lokasi wisata. Lebih ironis, di sekolah lain ditemukan pungutan tunggal hingga Rp 400.000 tanpa kejelasan rincian alokasi dana.
Kondisi ini menuai keresahan di tengah masyarakat yang masih berjuang secara ekonomi pasca-pandemi. J. Saragih, seorang tokoh masyarakat setempat, mengaku prihatin atas kebijakan sepihak tersebut.
“Anak-anak berhak menerima ijazah tanpa harus membayar mahal. Ini jelas bentuk pembebanan yang tidak beralasan di tengah kesulitan ekonomi masyarakat,” ujar Saragih, Rabu (14/05/2024).
Saat dikonfirmasi, Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Raya Kahean, Hotdin, menyatakan bahwa pungutan tersebut merupakan hasil “kesepakatan” antara pihak sekolah dan orang tua murid.
“Ini kesepakatan bersama, kami tidak bisa mengabaikannya,” jawabnya singkat melalui pesan WhatsApp.
Namun, ketika ditanya apakah ada arahan resmi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun, Hotdin mengakui tidak ada surat edaran atau kebijakan tertulis yang menjadi dasar pungutan tersebut.
“Kami hanya menjalankan hasil rapat,” katanya, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Respons dari Koordinator Wilayah Dinas Pendidikan Kecamatan Raya Kahean pun tidak menjawab substansi masalah.
“Maaf, saya sedang berduka dan tidak tahu soal itu,” ujarnya singkat saat dikonfirmasi.
Minimnya transparansi, ketiadaan regulasi, dan lemahnya pengawasan dari otoritas pendidikan menciptakan celah penyimpangan yang berpotensi merugikan publik. Padahal, menurut Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, pungutan hanya diperbolehkan jika bersifat sukarela, tidak mengikat, dan tidak menjadi syarat untuk layanan dasar pendidikan seperti penerbitan ijazah.
Praktik seperti ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga menciderai prinsip keadilan dalam pendidikan. Sekolah seharusnya menjadi ruang aman dan inklusif bagi semua anak, tanpa diskriminasi berbasis kemampuan finansial.
Hingga berita ini diturunkan, Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun belum memberikan klarifikasi resmi.
Jika dibiarkan, praktik pungli di dunia pendidikan dasar ini akan terus menggerogoti kepercayaan publik dan memperkuat ketimpangan akses terhadap hak pendidikan yang seharusnya dijamin negara.
Pemerintah daerah diminta segera turun tangan, melakukan investigasi menyeluruh, dan menindak tegas pelaku pungutan liar agar praktik menyimpang ini tidak menjadi budaya yang membusuk diam-diam dalam sistem pendidikan kita. (Jhon E)