Scroll untuk baca artikel
BeritaDepok

Kedua Calon Wali Kota Depok ‘Jualan’ Janji Politik Atasi Sampah, Insinerator Jadi Sorotan

×

Kedua Calon Wali Kota Depok ‘Jualan’ Janji Politik Atasi Sampah, Insinerator Jadi Sorotan

Sebarkan artikel ini

Views: 544

DEPOK, JAPOS.CO – Perdebatan terkait kebijakan pengelolaan sampah di Kota Depok menjadi sorotan utama dalam ajang debat terbuka calon wali kota-wakil wali kota. Salah satu isu kontroversial yang mengemuka adalah rencana penggunaan insinerator, teknologi pembakaran sampah yang diusung pasangan calon nomor urut 01, Budi Hartono dan Ririn Farabi, yang didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Golkar.

Advertisement
scroll kebawah untuk lihat konten

Rencana ini diklaim sebagai solusi cepat untuk menangani masalah sampah yang terus menumpuk. Namun, pasangan calon nomor urut 02, Supian Suri dan Chandra Rahmansyah, menilai langkah tersebut lebih banyak mudarat daripada manfaat.

Dalam acara debat beberapa hari lalu, Supian-Chandra secara tegas menentang rencana penggunaan insinerator. Keduanya berpendapat bahwa teknologi ini tidak hanya tidak efektif, tetapi juga berpotensi membebani anggaran serta berbahaya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Suara keberatan juga disuarakan oleh mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang ikut mencermati rencana tersebut. Lantas, apakah benar penggunaan insinerator akan berdampak negatif dan tidak sesuai untuk mengatasi masalah sampah di Depok?

Dalam perdebatan soal pengelolaan sampah, insinerator memang kerap kali menjadi pilihan kontroversial. Aliansi Zero Waste, yang selama ini mengkampanyekan solusi ramah lingkungan dalam pengelolaan sampah, memperingatkan bahwa insinerator bukanlah teknologi yang tepat untuk konteks pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia.

Meski dianggap mampu mengurangi volume sampah dengan cepat, dampak lingkungan dan kesehatan dari teknologi ini tetap menjadi perhatian utama.

Hingga saat ini, Indonesia telah menunjuk 12 kota untuk membangun insinerator sebagai bagian dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018. Kota-kota besar seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya telah mencoba menjalankan proyek ini, namun tidak sedikit dari proyek tersebut yang menuai kritik dari aktivis lingkungan.

Selain menghasilkan listrik, kebijakan PLTSa dianggap sebagai upaya estetis untuk mengurangi tumpukan sampah di kota-kota besar. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, masalah sampah tidak hanya sekadar soal estetika, melainkan terkait kesehatan dan kelestarian lingkungan.

Salah satu masalah terbesar dari insinerator adalah risiko pencemaran udara yang dihasilkan selama proses pembakaran sampah. Gas-gas berbahaya seperti karbon dioksida dan oksida nitrogen dihasilkan dari pembakaran tersebut, yang berkontribusi pada pemanasan global. Di beberapa negara maju, insinerator modern telah dilengkapi sistem penyaringan untuk meminimalkan polusi. Namun, risiko pencemaran masih tetap ada, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi insinerator.

Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah, menyebutkan bahwa insinerator menghasilkan dioksin senyawa beracun yang diketahui dapat menyebabkan kanker, gangguan reproduksi, serta kerusakan pada sistem imun dan hormon. Selain dioksin, insinerator juga menghasilkan merkuri dan partikel halus yang berbahaya bagi kesehatan.

Paparan merkuri dapat mengganggu sistem saraf, terutama pada anak-anak, sementara partikel halus berisiko menimbulkan penyakit pernapasan, kanker paru, dan bahkan kematian dini.

Selain emisi beracun, proses pembakaran ini menghasilkan abu residu yang dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Limbah ini memerlukan penanganan khusus yang biayanya tidak sedikit. Jika tidak dikelola dengan benar, abu beracun tersebut bisa mencemari air tanah dan udara, seperti yang pernah terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Norwegia.

Masalah ini memperlihatkan bahwa insinerator bukanlah solusi mutlak untuk menangani sampah, melainkan menciptakan permasalahan lingkungan yang baru.

Selain risiko kesehatan, insinerator memiliki masalah dari sisi efisiensi energi. Teknologi ini membutuhkan bahan bakar tambahan seperti gas atau minyak agar bisa bekerja secara optimal.

Energi yang dihasilkan dari proses ini tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan, membuat teknologi ini kurang efisien. Jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, insinerator jelas membutuhkan biaya yang lebih besar.

Penggunaan insinerator juga bisa menimbulkan ketergantungan terhadap sampah sebagai sumber bahan bakar, yang berisiko menghambat perubahan perilaku masyarakat dalam mengurangi produksi sampah.

Dengan adanya insinerator, dorongan untuk melakukan pengurangan, pemilahan, dan daur ulang sampah bisa semakin berkurang. Penggunaan insinerator sebagai solusi utama justru dapat merusak upaya pengelolaan sampah yang berkelanjutan.

Dalam konteks pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, banyak pihak menyarankan penerapan hierarki pengelolaan limbah yang menekankan pengurangan, daur ulang, dan kompos. Pengelolaan sampah organik melalui komposting misalnya, bisa menjadi solusi yang efektif tanpa menimbulkan risiko pencemaran. Pengurangan sampah sejak dari sumbernya juga akan lebih efektif dalam menekan jumlah sampah, sehingga tidak terjadi ketergantungan pada teknologi pembakaran yang berisiko.

Di berbagai negara, pendekatan pengelolaan sampah berkelanjutan yang melibatkan edukasi dan partisipasi masyarakat terbukti lebih efektif. Sistem pemilahan di sumber, pengolahan kompos, dan insentif untuk mendaur ulang telah berhasil mengurangi ketergantungan pada teknologi tinggi dan berisiko seperti insinerator.

Di tengah perdebatan antara kedua calon wali kota mengenai solusi pengelolaan sampah, penggunaan insinerator jelas bukan tanpa risiko.

Selain masalah biaya, dampak kesehatan dan lingkungan yang ditimbulkan teknologi ini seharusnya menjadi perhatian utama. Solusi jangka panjang dan berkelanjutan yang melibatkan perubahan perilaku masyarakat mungkin lebih relevan untuk kota seperti Depok.

Dengan demikian, janji-janji politik yang dikemukakan oleh kedua pasangan calon perlu ditinjau secara kritis agar tidak hanya mengedepankan solusi instan, tetapi juga mempertimbangkan dampak bagi kesehatan dan kelestarian lingkungan di kota Depok. (Joko Warihnyo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *