Jakarta, JAPOS.CO – Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
Di dalam UU Otonomi Daerah terdiri atas prinsip urusan pemerintahan konkuren yang meliputi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Di dalam urusan pemerintahan wajib pemerintah daerah haruslah melaksanakan Pelayanan Dasar yang meliputi a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. sosial. Prinsip-prinsip otonomi daerah haruslah akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
Prinsip-prinsip otonomi daerah tersebut kini menjadi isu sentra oleh banyak kalangan pada masa pandemic Covid-19 yang menyerang Indonesia saat ini. Setiap daerah menggunakan treatment sendiri-sendiri dalam menggapi penyebaran Covid-19 ini atau lazim disebut Corona Virus. Ada daerah yang melakukan lockdown wilayah/ akses keluar masuk bahkan ada yang justru menutup beberapa ruas jalan protokol, hingga ada beberapa upaya desa yang melarang sama sekali aktivitas masyarakat setempat disamping melarang warga dari luar untuk masuk ke desanya.
Otonomi Daerah memberikan akses besar bagi pengembangan aksesibilitan pelayanan dasar kesehatan pada setiap masyarakat dalam suatu daerah otonom. Memang semua daerah telah menyiapkan anggaran untuk menyelenggarakan pelayanan dasar kesehatan tersebut, namun, lagi-lagi kita diperhadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua daerah memiliki kemampuan yang sama, ada yang pelayanan kesehatannya lengkap, cepat dan tepat dalam merespon pasien yang terjangkit Covid-19 ada juga yang pelayanan kesehatannya “apa adanya” oleh karena keterbatasan sumber daya tenaga medis, keterbatasan tenaga kesehatan maupun keterbatasan kelengkapan sampai kepada keterbatasan anggaran daerah.
Hari ini banyak fakta daerah memberikan respon berbeda-beda dalam mengangani Covid-19 ini. Respon berbeda tersebut sesuai dengan “kesanggupan” daerah masing-masing, sehingga hari ini tidak heran beberapa daerah melakukan kebijakan berbeda ada yang karantina wilayah mengacu pada Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Karantina Kesehatan) namun ada juga yang masih membuka luas jalur keluar-masuk wilayah tanpa pengawasan ketat.
Menyikapi perbedaan penanganan setiap daerah, pada 31 Maret 2020, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PP PSBB) dalam penanganan Covid-19. Setiap daerah yang akan menerapkan PSBB harus meminta persetujuan dari Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Sehingga pemerintah daerah (gubernur/ walikota/ bupati) yang ingin menerapkan PSBB tidak boleh memutuskan dan menyelesaikan sendiri namun haruslah terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Menteri Kesehatan untuk diputuskan apakah permohonan PSBB daerahnya disetujui ataukah tidak disetujui. Sebagai pelaksanaan dari UU Karantina Kesehatan dan PP PSBB tersebut dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Permenkes PSBB) sebagai aturan turunan bersifat pedoman pelaksanaan untuk mengetahui apa saja indikator wilayah dapat melaksanakan PSBB.
Di dalam Pasal 4 Permenkes PSBB tersebut jelas yang menjadi parameter disetujuinya permohonan PSBB oleh Menteri adalah gubernur/ walikota/ bupati yang memohonkan PSBB harus disertai dengan data meliputi peningkatan jumlah kasus menurut waktu, penyebaran kasus menurut waktu dan kejadian transmisi lokal. Sehingga, jelas tidak semua kepala daerah dapat memutuskan melakukukan PSBB pada daerah otonomnya.
Kemudian muncul pertanyaan, mengapa harus mendapatkan izin Menteri terlebih dahulu? Bukankah daerah memiliki hak untuk mengurus daerahnya sendiri ? UU Otonomi Daerah tidak menganut konsep kekuasaan daerah secara absolut, namun harus tetap melakukan kordinasi dengan pemerintah pusat khususnya pada isu strategis nasional yang dampaknya menyeluruh, inilah yang menjadi tujuan dibentuknya Satuan Tuga (Satgas) penanganan Covid-19 ini agar pemerintah daerah tidak jalan sendiri-sendiri namun tetap ada kordinasi yang baik dan tepat untuk menentukan apakah daerahnya tepat jika dilakukan PSBB.
Kondisi ekonomi dan faktor geografis Indonesia yang terbagi atas pulau-pulau haruslah dipertimbangkan dengan matang oleh Satgas terkait untuk memutuskan kemudian. Daerah harus bisa memahami bahwa kemampuan daerah masih sangat terbatas dan tidak semua daerah memiliki “lumbung uang” yang cukup untuk melaksanakan rencana programnya.
Satgas ini memiliki arah yang benar, namun harus tetap dikawal implementasinya agar setiap daerah dapat terbantu dengan adanya Satgas ini dan mendapatkan respon cepat dan tepat mau dibawa kemana daerah mereka dalam menghadapi pandemik Covid-19.
Oleh: Andi Nursatanggi M, SH MH (Akademisi dan Paktisi Hukum)