Jakarta, JAPOS.CO – Jamwas diminta periksa Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara yang dituding telah membuat P21 dalam kasus memberikan keterangan palsu dibawah sumpah dalam kasus 167 KUHP pada tahun 2013, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Pasalnya, proses penyidikan kasus TBS dalam dugaan tindak pidana memberikan keterangan palsu di bawah sumpah (pasal 242 KUHP) yang dari tahun 2015 di penyidikan hingga terahir tahun 2017 belum jelas tuntas dan lengkap sesuai ketentuan hukum, tapi pada tahun 2019 penyidik memanggil kembali TBS berdasarkan surat dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara: Nomor B 1518/M 1.11/Epp.1.11/2019 tanggal 29 November, tentang pemberitahuan hasil penyidikan terkait perkara dugaan tindak pidana dibawah sumpah sebagai dimaksub dalam bunyi pasal 242 KUHP pidana atas nama tersangka TBS dinyatakan hasil penyidikan sudah lengkap (P21).
Anehnya dalam panggilan (poin5) masih ada surat perintah penyidikan nomor: SP sidik/285A/XII/2019/Reskrim, tanggal 5 Desember 2019, dan akan dihadapkan TBS kekejaksaan (tahap II) sudah buru-buru dinyatakan memenuhi syarat untuk disidangkan (P21) oleh JPU Teddy dari Kejari Jakarta Utara. Akibatnya, Polres Jakarta Utara menuai praperadilan akibat perbuatan Kejari Jakarta Utara tersebut.
Demikianlah yang tergambar dalam praperadilan yang diajukan tersangka TBS terhadap Polres Jakarta Utara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara melalui penasihat hukum Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45) Jakarta.
“Klien kami yang awam hukum bagai dijebak sedemikian rupa dalam kasus pasal 242 KUHP ini. Dia tentu saja kaget dan bingung sekaligus bertanya-tanya mengapa bisa begini, bukankah hukum progresif tengah dijalankan saat ini oleh aparat penegak hukum (APH),” ujar Dr Anton Sudanto SH MH di Jakarta, Sabtu (11/1/2020).
Kegagetan sekaligus kebingungan TBS muncul karena dirinya terahir dipanggil Polres Jakarta Utara terahir pada tahun 2017 untuk pemeriksa lanjutan guna melengkapi berkas perkaranya, tiba-tiba tahun 2019 sudah muncul lagi panggilan bahwa perkara sudah P21 dari akan dihadapan ke Kejari Jakarta Utara. Padahal, kata Anton Sudanto, kliennya tidak tahu apakah ada penyelidikan, penyidikan kemudian petunjuk dari jaksa ke penyidik telah dipenuhi atau tidak.
“Melompat-lompat saja tahapan-tahapan penanganan kasus pemberian keterangan palsu itu entah keinginan siapa sampai bisa begitu,” tutur Anton.
Kasus yang sempat “tidur” tersebut – diduga karena tidak mempunyai landasan hukum untuk di (P21) dan membawanya ke pengadilan – tiba-tiba saja dibangunkan menjelang tutup tahun 2019. Padahal, menurut ahli hukum Yahya Harahap, penyelidikan merupakan tindakan pertama permulaan penyidikan. Artinya penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri dan terpisah dari fungsi penyidikan. “Ini penyelidikannya belum tuntas tetapi telah melompat ke penyidikan bahkan lebih tinggi lagi,” ujar Anton.
Selanjutnya penyidikan belum dilaksanakan secara benar dan tuntas sebagaimana diatur perundang-undangan yang berlaku, sudah dinyatakan lagi memenuhi syarat untuk disidangkan di pengadilan oleh pihak Kejari Jakarta Utara. “Klien kami merasa telah diperlakukan sewenang-wenang dengan adanya panggilan untuk tahap dua,” ucap Anton.
Dengan tidak dilakukannya penyelidikan dan penyidikan secara benar dan tuntas, maka bukti permulaan atau bukti yang cukup apalagi untuk mencapai tahapan memenuhi syarat untuk disidangkan (P21) menjadi tidak jelas juga tentunya. Oleh karenanya, panggilan penyidik guna dihadapkan ke Kejari Jakarta Utara atau tahap dua sebagai tindak lanjut dari P21 menjadi sarat kejanggalan dan dinilai aneh.
“Ada dua sprindik dibuat tanggal 5 Desember 2019. Padahal surat dari Kejari Jakarta Utara tanggal 29 November 2019 menyebutkan berkas sudah lengkap (P21) dan satunya lagi permintaan dokumen. Apakah masih perlu permintaan dokumen untuk berkas yang sudah memenuhi syarat untuk disidangkan? Ini pula yang membuat klien kami bingung,” ungkap Anton.
Pemohon praperadilan TBS dipanggil dalam surat panggilan No S.Pgl/2043/XII/Res.1.9/2019/Reskrim tanggal 9 Desember 2019 oleh penyidik untuk dihadapkan ke Kejari Jakarta Utara menyusul hasil penyidikan sudah lengkap (P21). Lantas bagaimana dengan sprindik permintaan dokumen? “Jadi berkas yang dinyatakan P21 atau memenuhi syarat untuk disidangkan di pengadilan sesungguhnya cacat hukum,” ujar Anton.
Begitu pula penetapan tersangka terhadap TBS dinilai tidak sah, tidak berdasar, cacat hukum bahkan menabrak hukum acara (KUHAP) yang seharusnya dijunjung dan ditaati.
Anton mengakui bahwa pemohon praperadilan TBS telah melakukan perikatan jual beli rumah dengan pelapor kasus 242 KUHP tanggal 7 Februari 2002 di notaris Hilda Sari Gunawan SH. Selanjutnya Perikatan Jual Beli (PJB) No 22 tersebut telah memunculkan perikatan antarkedua pihak yang bersifat pos factum atau fakta yang terjadi setelah peristiwa dilaporkan pelapor.
“Jadi hubungan antara pelapor dengan terlapor (TBS) murni bersifat keperdataan belaka. Tidak ada keterangan palsu di bawah sumpah dilakukan klien kami, apa lagi yang disangkakan klien kamu memberikan keterangan palsu dibawah sumpah dalam kasus 167 KUHP saat itu klien kami hanya sebagai saksi dipengadilan pada tahun 2013,” ujar Anton menegaskan.
Pihak Kejari Jakarta Utara maupun Polres Jakarta Utara yang berusaha dihubungi terkait kasus 242 KUHP ini belum berhasil. Sidang praperadilannya sendiri dijadwalkan digelar pada Selasa 14 Januari 2020.(Tim)