Menantang Wilson Lalengke

Bangka Blitung, JAPOS.CO – Membaca tulisan Bung Wilson Lalengke, di portal bernama Pewarta Indonesia tanggal 13 Desember 2019, yang judulnya “Lulus UKW Tidak Menjamin Kompetensi Wartawan,” saya akhirnya memutuskan untuk mejawab opini yang ditulisnya tersebut.

Sebenarnya sudah lama saya sering mengamati tulisan-tulisan bung Wilson Lalengke yang selalu menuliskan bahwa dirinya adalah Alumni PPRA 48 Lemhannas ini. Dan nada hampir selalu sama, mengecam Dewan Pers dan menentang program UKW.

Dua point tersebut yang paling sering saya tangkap dari tulisan-tulisannya. Harus saya akui bahwa tulisan tersebut menjadi laris diterbitkan di banyak media online, termasuk di Bangka Belitung. Dan saya paham betul media-media yang hobby menerbitkan tulisan Wilson Lalengke ini. Luar biasa kerasnya bahkan tanpa tedeng aling-aling menyebut Dewan Pers abal-abal, UKW abal-abal, PWI abal-abal dan yang terakhir saya baca kemarin UKW sontoloyo. Dan salah satu yang menggerakkan saya untuk mebuat tulisan ini karena ada nama PWI, PWI Bangka Belitung serta rekan sekaligus sahabat saya Romlan dalam tulisan bung Wilson Lalengke kali ini.

Bung Wilson Lalengke, saya ingin mengulas beberapa point dalam paragraf tulisan anda secara umum. Soalan anda menyebut-nyebut nama rekan yang juga sahabat Romlan terkait kesalahannya memuat hoax tentang daerah pemekaran. Yang mana berita tersebut dirilis di kabarbangka.com pada Juni 2019 lalu. bung Wilson Lalengke, saya membayangkan seandainya beberapa tahun lalu saya tidak berjumpa Romlan.

Mungkin pemegang Kompetensi Utama tersebut akan menjadi salah satu sosok yang paling Spartan mengidolakan anda. Pada tulisan anda yang berjudul “Ambiguitas Sertifikasi Wartawan dan Verifikasi Media” habis-habisan anda mengulik sosok Romlan ini. Termasuk mengunggah sertifikat kompetensi milik Romlan, untuk menguatkan opini anda.

Bagi saya, Romlan bisa dibilang adalah contoh transformasi atau hijrah dari wartawan abal-abal, menjadi wartawan profesional. Terlepas kelebihan dan kekurangannya, terlepas dari kesalahan yang dilakukan dan proses hukumnya yang sudah diselesaikan.

Saya melihat bahwa Romlan memiliki spirit menjadi lebih baik. Kesalahan yang dilakukan bisa dijadikan sebuah pelajaran berharga untuk menjadi lebih baik lagi ke depan. Itu cara pandang positif. Bahwa orang yang baik adalah orang yang senantiasa berusaha menjadi lebih baik dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Sementara bagi anda mungkin kesalahan adalah sebuah tanda titik untuk berhenti.

Bung Wilson Lalengke, pendidikan anda terbilang mentereng. Dan saya tidak berani mengatakan gelar anda abal-abal seperti justifikasi yang sering anda sasar untuk Dewan Pers dan program UKW nya. Namun sebagai seorang yang berpendidikan strata 1 ke atas, saya yakin bung Wilson Lalengke sangat paham bagaimana menggeneralisir sebuah causa permasalahan, hingga mendapatkan korelasi sebab akibat. Dalam konteks UKW.

Dalam tulisan opini anda pada Juni lalu dan yang 13 Desember 2019 kemarin, hanya bermodalkan 1 (satu) contoh kasus, anda mencoba menggeneralisir bahwa UKW adalah pekerjaan abal-abal.

Bung Wilson Lalengke, perlu anda ketahui ada 11.000 lebih jumlah wartawan yang saat ini sudah berstatus kompeten. Baik itu jenjang Muda, Madya dan Utama.

Merujuk jumlah tersebut, sungguh sangat tidak sebanding dengan sample yang anda sodorkan. Setidaknya anda butuh ratusan atau ribuan sample untuk anda bisa menggeneralisir bahwa UKW ini tidak menjadi jawaban profesionalitas seorang Jurnalis, sebagaimana tudingan anda. Dari sini lah saya melihat betapa tidak komprehensifnya anda menuding bahwa UKW adalah proyek abal-abal dari Dewan Pers.

Mengapa opini ini saya beri judul “Menantang Wilson Lalengke?” Seperti fakta yang sering anda sebut-sebut bahwa anda seorang alumni Lemhanas, saya meyakini bahwa mereka yang disekolahkan di Lemhannas mengenyam segala sesuatu yang positif dan bukan sembarangan orang yang bisa mendapatkan kesempatan tersebut. Namanya saja Lembaga Ketahanan Nasional, tentunya konten berupa cara pikir konstruktif menjadi menu umum untuk dikonsumsi oleh para alumninya.

Seperti yang anda tulis, apa nyana…. ternyata sederet pejabat tersangkut kasus korupsi di negeri ini justru merupakan alumni Lemhanas. Khususnya para kepala daerah. Lantas mengapa Bung Wilson Lalengke tidak mencelotehi bahwa Pendidikan Lemhannas hanya program abal-abal ?

Saya menantang bung Wilson Lalengke untuk mengusik Lemhanas yang ternyata tidak mampu membentuk mental anti korupsi bagi para alumni nya. Atau mungkin bung Wilson Lalengke dengan berani membakar atau merobek sertifikat yang diterima dari Lemhannas, karena dianggap tidak bermanfaat. Dan bisa membayangkan berapa dana degara yang dipergunakan untuk program tersebut setiap tahunnya.

Sungguh tidak sebanding jika UKW yang dilakukan hanya 2 hari kemudian ada alumni nya yang melakukan kesalahan, lantas anda generalisir permasalahan ini dengan sebutan UKW abal-abal, sementara Lemhanas yang seperti yang anda pernah ikuti selama beberapa bulan ternyata tidak mampu membuat para alumninya bebas dari praktik koruptif. Berani kah anda mengoceh dan menganggap Lemhannas itu abal-abal lentas kemudian mendesak agar dibubarkan saja? Sebagaimana anda menyooroti Keberadaan Dewan Pers dan program UKW.

Dalam tulisan anda tanggal 13 Desember 2019, anda mencontohkan program Ujian nasional yang dihapuskan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, dalam argumentasinya yang tertuang dalam tulisan anda tersebut Bahwa UN dan bermacam ujian itu tidak menjamin kompetensi seorang lulusan.

Nadiem juga dengan tegas menyatakan bahwa sertifikasi lembaga pendidikan tidak menjamin mutu lembaga penerima piagam-piagam sertifikasi. Saya menilai bung Wilson Lalengke seperti menepuk air di dulang. sadarkan anda juga menenteng sertifikat dari Lemhanas.

Mungkin juga anda tidak ketahui bahwa saat ini ada ratusan lembaga sertifikasi profesi, dan pemerintah sendiri melalui LSP telah berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk menselaraskan program sertifikasi ini di bawah naungan LSP. Artinya program UKW ini sendiri terus mengalami perkembangan untuk menjadi lebih baik seperti lembaga sertifikasi profesi lainnya.

Sedangkan bung Wilson Lalengke hanya sibuk mengulik Dewan Pers dengan program UKW nya. Cobalah anda celotehi juga program ujian sertifikasi profesi lainnya. Karena jika mengacu pada pemikiran anda, bisa dibilang ujian sertifikasi tidak menjadi menjadi jaminan.

Ini menyangkut tulisan anda yang mengatakan bahwa ujian kompetensi hanya dilakukan untuk mengukur kemampuan kognitif. Sebenarnya saya berkesimpulan bahwa anda seperti orang yang ngoceh tanpa pengetahuan. Karena dari tulisan anda pada dua paragraph tersebut menunjukkan bahwa anda sendiri tidak tahu seperti apa UKW itu. Seolah anda lebih paham, bahkan dari konseptor program UKW.

Saya kebetulan juga adalah pemegang sertifikat penguji, tahu betul bahwa UKW bukanlah seperti yang anda katakan mengukur kemapuan kognitif semata. Jika anda dan (yang anda sebut) pewarta mengikutinya mungkin anda tidak akan menuliskan demikian. Karena UKW adalah ujian kompetensi yang mendudukan seorang dengan profesi sebagai wartawan secara utuh dalam ruang keredaksian.

Saya melihat anda tidak menemukan definisi yang membedakan apa itu pewarta dan apa itu wartawan. Saya kasih anda sedikit pengetahuan, bahwa pewarta itu belum tentu seorang wartawan.

Tapi seorang wartawan sudah pasti melakukan fungsi mewartakan. Seseorang yang rutin mengunggah informasi di media sosial seperti fecebook pun masuk kategori pewarta. Tapi apakah dia seorang wartawan, belum tentu. Dan apakah menurut anda wartawan adalah mereka yang mengantongi ID card Pers? Ini yang sekarang butuh penegasan. Dan UKW merupakan filternya. Saya, Romlan, teman-teman se-profesi di PWI bangga bahwa kami tidak sama dengan wartawan atau pewarta yang anda maksud. Kami bukan wartawan yang mengantongi kartu pers saja. Yang hanya menanyangkan berita copy paste, dan bersenang hati hasil tulisan berita orang lain ter-upload di portal beritanya. Anda mau bukti? Saya bisa tunjukkan.

Kembali soal Romlan, saya meminjam kata-kata seorang senior saya di Jawapos Grup, kalau ada yang bilang bahwa yang sudah berstatus Kompeten Utama saja masih melakukan kesalahan, apalagi yang tidak Kompeten. UKW bukan untuk menjamin anda 100% menjadi benar. Akan tetapi UKW membuat kita menjadi lebih baik dan lebih bertanggung jawab dalam mengemban profesi sebagai wartawan. Anda bung Wilson Lalengke, bukan maksud saya mengecilkan.

Tapi jika harus head to head dengan Romlan soal profesi jurnalistik saya yakin anda belum apa-apanya. Dan pemikiran pragmatis anda tentang tingkat pendidikan rekan saya Romlan, menunjukkan pola pikir anda yang terjebak pragmatis. Padahal saya yakin kita pernah punya menteri yang hanya pendidikan SMP. Namun mampu menunjukkan kemampuan profesionalitas yang luar biasa hingga dipercaya jadi menteri. bung Wilson Lalengke, jika ada profesi yang harus anda ukur dari tingkat pendidikan, tapi tidak semua. Seperti profesi wartawan, anda sendiri menyebutkan bahwa itu adalah ranah afektif dan psikomotorik. Tapi di sisi lain anda masih menyebut tingkat pendidikan rekan saya Romlan.

Saya menyarankan anda bung Wilson Lalengke untuk mencoba ikuti dulu UKW, baru kemudian mengomentari. Dan sekali lagi saya tunggu tulisan anda yang mengocehi lembaga sertifikasi lainnya termasuk Lemhannas yang ternyata belum mampu membuat alumninya jadi orang yang benar 100%. Akhir kata, kalau anda berkesempatan ke Bangka, saya siap untuk berdiskusi dengan anda, terkait apa itu UKW. Sekaligus bisa jumpa rekan saya Romlan yang mungkin bisa menjawab segala opini anda. Penulis: Rudi Syahwani (Ketua SIWO PWI Babel).(Oby)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *