Views: 2.3K
BOGOR, JAPOS.CO – Diduga ada pembiaran terkait alih fungsi kebun teh dan hutan lindung menjadi Proyek pembangunan tempat wisata resort di Kawasan Puncak, tepatnya di Perkebunan Teh Gunung Mas Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor yang terus menuai kontroversi.
Sejumlah elemen masyarakat menyuarakan penolakan mereka atas mulai dibangunnya Kawasan yang identik dengan perkebunan teh dan kawasan hutan lindung tersebut.
Warga, terutama yang berada di sekitar kawasan tersebut mempertanyakan kelayakan & kajian dampak lingkungan dari proyek tersebut yang disebut warga jelas merupakan eksploitasi alam yang identik dengan merusak lingkungan.
Maulana, Seorang Tokoh Pemuda Cisarua Puncak yang juga aktivis pelestari lingkungan hidup sangat menyesalkan dibangunnya tempat wisata di kawasan yang jelas peruntukannya adalah untuk perkebunan dan hutan lindung tersebut. Kawasan Puncak saat ini sudah sangat masif pembangunan berbagai sarana wisata seperti villa, hotel, resort dan cafe, sayangnya pembangunan tersebut kerap mengabaikan aturan & kelestarian lingkungan.
“Tempat wisata di Kawasan Puncak sudah sangat banyak, kenapa masih terus dibangun, lebih parahnya lagi, ini dibangun di tengah perkebunan teh yang dikelola PTPN, bagaimana kajian AMDAL nya? Bagaimana prosedur perizinannya? Ini yang Kami sebagai warga Cisarua pertanyakan, padahal sangat jelas proyek ini dapat berdampak besar & sangat berpotensi menimbulkan kerusakan alam,” terangnya kepada media, Kamis (25/01/2024).
Menurut pria yang akrab disapa Baung ini, Kawasan Puncak itu memang identik dengan pariwisata, identik dengan panorama alamnya yang asri dan menjadi destinasi favorit warga, namun tidak seharusnya pengembangan wisata justru mengabaikan fungsi terpentingnya yaitu sebagai kawasan resapan air, Kawasan Puncak juga merupakan hulu sungai besar yang melintasi Jabodetabek yang berarti menyangkut kelangsungan hidup jutaan penduduknya.
“Kami telah melakukan berbagai upaya melalui beberapa pihak yang intinya menuntut kepada pemerintah untuk mendengarkan suara rakyat yang menolak pembangunan tempat wisata resort di Perkebunan Teh Gunung Mas ini. Penolakan dari masyarakat sudah cukup masif. Tak hanya itu, penolakan juga datang dari anggota dewan yang concern terhadap kelestarian alam,” ungkapnya.
Ia juga mempertanyakan sikap sejumlah perangkat pemerintah yang terkesan memaksakan agar proyek tersebut berjalan padahal sudah banyak suara penolakan & alasan penolakan tersebut juga sangatlah logis.
“Ini penolakan sudah masif, harus didengarkan karena ini suara rakyat, jangan diabaikan begitu saja.
Sementara itu, beberapa warga Kampung Naringgul, yang menurut beberapa sumber sejarah merupakan kampung tertua di Kawasan Puncak menyatakan hal senada, menolak pembangunan tempat wisata yang akan menggusur keberadaan mereka dari tanah yang konon telah dihuni sejak tahun 1910, di era Kolonial Belanda.
“Warga di Naringgul sudah seratus an tahun menghuni tanah ini, sejak zaman Belanda dulu, Kampung ini awalnya diperuntukkan bagi para pegawai perkebunan teh, saat Indonesia Merdeka, orang tua kami kemudian mendapat hibah berupa kampung dan juga area kebun teh di sekitar kampung,” tutur seorang warga Naringgul yang meminta namanya tidak ditulis.
Warga tersebut menjelaskan, pada tahun 1985 datanglah perwakilan dari PTPN yang meminta agar warga bersedia “Meminjamkan” lahan mereka untuk digunakan PTPN sebagai bahan perkebunan teh yang produktif.
“Di zaman itu tidak ada perjanjian tertulis,hanya secara lisan saja dan uyut kami mau tidak mau harus memberikan lahannya untuk dikelola PTPN, ya sampai sekarang permasalahan ini tidak jelas juga bagaimana kelanjutannya. Tapi tiba – tiba saja kami mendapat pemberitahuan kalau Kampung Naringgul ini akan masuk ke dalam area yang akan dibangun oleh Perusahaan Rekanan PTPN dan Kami ditawarkan relokasi ke tempat lain yang cukup jauh dan akses yang minim, tentu saja Kami menolak tegas penawaran tersebut karena sangat tidak sesuai dan tidak rasional, Kami akan tetap berada di kampung ini karena itu adalah amanat dari orang tua kami dan Kami memiliki hak atas tempat tinggal kami ini,” tegasnya.
Warga tersebut menambahkan, pihak warga sudah meminta atensi dari beberapa pemangku kepentingan agar keberadaan mereka diakui secara legal dengan cara mengurus sertifikat, namun upaya tersebut masih belum membuahkan hasil karena terkendala beberapa hal dan hingga saat ini warga masih terus berupaya agar mereka mendapatkan legalitas yang jelas atas tanah mereka.
Meskipun ditolak elemen masyarakat, pantauan langsung di lokasi, memang saat ini proyek pembangunan tempat wisata tersebut masih berjalan, terlihat beberapa pekerja tengah menggali dan merapikan tanah yang menurut informasi warga akan menjadi akses jalan untuk alat berat seperti ekskavator. Tampak jelas juga jejak tanaman teh yang telah dibabat di lokasi tersebut, jadi memang pembukaan jalan itu “menggusur” hamparan tanaman teh yang selama ini menjadi icon Kawasan Gunung Mas Puncak.
Seorang warga lainnya yang merupakan tokoh agama juga sempat mendatangi area proyek dan berdialog dengan para pekerja agar menghentikan kegiatannya tidak membuahkan hasil, menurut warga tersebut, upaya bertemu dengan pimpinan perusahaan belum mendapatkan respon, surat permintaan sudah dikirimkan namun hingga saat ini belum ditanggapi lebih lanjut.
“Permintaan warga untuk bertemu dan berdialog dengan Pimpinan Perusahaan belum ditindaklanjuti, seperti yang terlihat, baru proyek jalan akses saja sudah mengorbankan sedemikian banyaknya tanaman teh, bagaimana nanti pembangunan utamanya, jelas kami menolak karena dampaknya pasti akan dirasakan langsung oleh masyarakat, kami mohon atensi dari pemerintah daerah dan pusat, mohon suara dan aspirasi kami warga Puncak ini didengarkan, jangan mengorbankan alam untuk tempat wisata, kami sebagai warga sejak dulu diminta untuk menjaga kelestarian alam, tapi kenyataannya malah seperti ini, pemilik modal terus menggerus alam di Puncak tanpa mengindahkan kerusakan, ini ironis,” tegasnya.
“Kami akan terus berjuang dengan menempuh berbagai upaya agar perusakan alam ini dapat dihentikan, stop pembangunan tempat wisata di Perkebunan Gunung Mas, stop ekploitasi alam yang berpotensi menimbulkan bencana,” pungkasnya.
Sebagaimana diberitakan beberapa waktu, Karukunan Warga Puncak (KWP) menggelar konferensi pers yang intinya menyoroti beberapa hal.
Kesatu, melakukan penolakan alih fungsi kebun Negara yang masih produktif maupun yang telah menjadi lahan konservasi atau jalur hijau.
Kedua, Penguasaan dan eksploitasi sumber-sumber air dengan alirannya yang sedang dimanfaatkan warga masyarakat oleh pihak korporasi di kawasan Puncak khususnya yang berada diarea HGU PTPN VIII Gunung Mas.
Ketiga, Kerja Sama Operasi (KSO) antara PTPN VIII Gunung Mas dengan pihak ketiga (3) tanpa melibatkan pemerintah setempat serta warga masyarakat adat sekitar.
Menuntut atau mendesak pihak PTPN VIII Gunung Mas serta anak perusahaannya untuk menghentikan Kerja Sama Operasi (KSO) atau apapun namanya selain dari Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan oleh Negara melalui Pemerintah yakni pengelolaan kebun teh sebagaimana PERPU nomor 2 tahun 2022 dan PP nomor 26 tahun 2021.
“Kami mendesak atau menuntut Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bogor juga instansi terkait untuk melakukan pengawasan dan penindakan atau penertiban atas indikasi pelanggaran yang dilakukan diarea HGU PTPN VIII Gunung Mas. Selain itu kami meminta kepada Pemerintah pusat melalui Kementerian beserta lembaga terkait agar mengkaji ulang atas beberapa PERPU yang masih kurang maksimal dalam rangka menjaga kelestarian alam serta lingkungan hidup, khususnya di wilayah Jabodetabek.” (Red)